Wednesday, September 24, 2008

Telaah Pustaka




Jilbab dan Politik Standar Ganda

Oleh L. Qomarulaeli


Judul Buku : Politics of The Veil

Penulis : Joan Wallach Scott

Penerbit : The Princenton University Press

Sebagai negara yang paling sekuler di dunia, Perancis pernah dikhawatirkan oleh gerakan jilbabisasi warganya. Konsep negara yang terbuka dan teori kesejahteraan yang diterapkannya, mengundang warga pendatang lainnya untuk merantau di negara mode dunia ini. Dan pendatang dari wilayah Afrika dan Timur Tengah menjadi kedua wilayah yang menyumbangkan imigran terbesar.

Masyarakat muslim di negara ini berkembang signifikan. Lembaga sensus pemerintah setempat misalnya mencatat pertumbuhan warga muslim di Perancis mengalami peningkatan dari tahun-ke tahun. Tentu bagi sebuah politik negara yang menganut prinsip sekuler ini merupakan sesuatu yang perlu diwaspadai.

Pada waktu itu segala bentuk kegiatan keagamaan—sebenarnya bukan hanya islam yang ditekankan—diawasi dan dibatasi oleh pemerintah. Dan salah satu kebijakan yang paling banyak menuai kontroversi adalah kebijakan pelarangan penggunaan jilbab di lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga pendidikan. Sontak saja, umat bukan hanya umat Islam yang melakukan unjuk rasa terhadap kebijakan ini. Atas nama solidaritas dan ukhuwah islamiyyah umat Islam di berbagai belahan dunia lainnya pun mengecam kebijakan ini. Adakah yang salah dengan kebijakan pelarangan jilbab ini?

Pelarangan jilbab sebenarnya sudah dimulai sejak pemerintahan Presiden Francois Mitterand. Pada masa pemerintahannya, beberapa siswi Muslimah dikeluarkan karena berjilbab. Setelah muncul protes, termasuk beberapa demonstrasi di Indonesia, Counseil dEtat (Dewan Negara) memutuskan menoleransi pemakaian jilbab, asal tidak dipaksakan. Dulu dan kini, argumentasi Perancis masih sama. Bahwa jilbab, kerudung dan jenggot dianggap simbol agama (symbole religieux), bisa menimbulkan aksi kekerasan, membahayakan kehidupan rakyat dan negara yang berdasar sekulerisme. Bahkan, ada alasan tak masuk akal bahwa berkerudung dan berjilbab menghalangi telinga siswa sehingga sulit menyerap pelajaran Fisika dan Ilmu Bumi.

Lewat sebua karya cerdas, penulis asal Amerika Serikat Joan Wallach Scott dalam bukunya The Politics of the Veil berhasil memberikan gambaran tentang hal ini. Joan Wallach Scot mempertanyakan kenapa mesti jilbab yang harus menyita perhatian pemerintah, apa Perancis sudah tidak memiliki masalah fundamental dan lebih penting dari itu? “Why the headscarf?”

Scott juga mempertanyakan para pendukung pelarangan ini, yang berargumen bahwa pengaturan ini dilakukan demi kesetaraan gender, demi tegaknya sekularisme (Prancis dalam hal ini) atau bahkan demi terpeliharanya Keperancisan yang khas. Joan Wallach Scot merupakan penulis yang memiliki kepustakaan tentang Perancis terlengkap di Amerika Serikat, dan melakukan studi puluhan tentang negara ini. Lewat bukunya ini Scot juga ingin mengungkapkan bagaimana proses politik seharusnya mengakui dan menegosiasikan perbedaan, bahkan yang tampaknya sedemikian tak mungkinnya sekalipun. Hal inilah yang dibutuhkan oleh politik demokrasi sekarang, di Prancis dan di mana pun.

Tentu kasus pelarangan jilbab di Perancis, bukanlah kebijakan tidak asal buat. Seperti ditulis Joan Wallach Scot, kebijakan ini didorong oleh sejumlah kekhawatiran oleh maraknya semangat keagamaan di Perancis—sesuatu yang menjadi lawan terkuat dari sekularisme.

Kasus pelarangan jilbab di Perancis sebenarnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap jiwa yang membangun negara tersebut. Walau pun Perancis pernah mendeklarasikan diri sebagai negara tersekuler di dunia, tapi bukan kah negerinya Zinedine Zidan ini juga merupakan negara demokrasi? Dan bukankah,--seperti juga kata Scot-- esensi demokrasi harus mampu menegoisasikan perbedaan-perbedaan warganya. Lebih dari itu kita juga harus siap dengan konsekuensi demokrasi yang juga harus mengakomodasi perbedaan.

Mengenai ideologi sekular yang dianut oleh Perancis, bukankah sekulerisme sendiri menghendaki negara netral terhadap kehidupan warga negaranya? Kegiatan-kegiatan seperti penggunaan jilbab di mana pun, shalat, hijab, jenggot, makanan halal, biarawati bertutup kepala, negara tidak memiliki hak untuk melarangnya, begitu juga sebaliknya tidak punya hak untuk memerintah. Adanya kebijakan pelarangan jilbab sebenarnya merupakan gambaran bahwa negara telah mencampuri kehidupan pribadi warga, padahal dalam teorinya itu ditentang oleh sekulerisme.

Dengan kata lain soal jilbab sebenarnya bukan menjadi soal pribadi tetapi sudah menjadi persoalan hak. Dengan munculnya keinginan pemerintah Perancis pada waktu itu untuk mengatur dan membatasi penggunaan simbol-simbol agama, termasuk jilbab, dalam ruang publik seperti sekolah dan perguruan tinggi, jilbab pun beralih menjadi wacana politik. Karena jilbab mau diatur dan bahkan dilarang oleh hukum dan kekuasaan, maka orang yang mengenakannya tidak lagi didasarkan atas argumen agama, tapi argumen politik.

Lantas di mana letak semboyan “liberte, egalite, fraternite” dalam kerangka sekulerisme Perancis. Seperti yang digambarkan Joan Wallach Scott dengan bukunya The Politics of the Veil berhasil mengggambarkan ada politik standar ganda dalam kebijakan pelarangan jilbab ini. Karya ini merupakan karya penting dalam mengkaji pandangan masyarakat Eropa (Perancis) terhadap Islam, terlebih paska peristiwa 11 September.***

Topik Kita


Prof. Dr. Syafi’i Anwar

“Kita Miskin Negarawan”

Setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa, umat Islam merayakan hari kemenangan. Salah satu tradisi yang kerap dirayakan adalah halal bil halal, tradisi ini merupakan khas muslim Indonesia yang tidak ditemukan di wilayah lain. Tetapi apa makna dan nilai yang terkandung dalam perayaan halal bil halal tersebut, dan apa pula kaitannya dengan nilai-nilai wawasan kebangsaan. Untuk menggali hal-hal tersebut L. Qomarulaeli dan fotografer Ridwan Rale, mewawancarai Prof. Dr. Syafi’i Anwar di rumahnya di kawasan Ciputat Tangerang. Berikut perbincangannya :

Makna apa yang bisa kita petik dari proses halal bil halal

Saya kira kita harus mengulangnya dari awal. Halal bil halal itu merupakan tradisi yang khas yang berkembang di Indonesia, di tempat lain saya tidak menemukan hal yang sama. Tradisi ini sudah sekian lama berkembang sehingga sampai sekarang menjadi kegiatan yang rutin kita adakan, dan itu merupakan hal positif yang bisa kita petik dari proses halal bil halal ini.

Bagaimana pun hal ini tidak bisa dilepaskan dari merayakan hari kemenangan. Dan konteksnya, lebaran itu kan bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi kultur atau apresiasi terhadap apa yang berkembang di Indonesia. Dan itu mencerminkan corak keislaman Indonesia yang berbeda dengan islam-islam yang ada di negara Timur Tengah.

Tetapi yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa lebaran itu tidak bisa dipisahkan maknanya dari rangkaian kegiatan atau ritus umat Islam itu sendiri untuk merayakan hari kemenangan. Dan itu mereka rayakan setelah sebulan penuh berpuasa, maka mereka layak merayakan kemenangannya. Di sini juga umat Islam harus melihat konteksnya bahwa hal itu dilakukan dalam rangka memberi makna lebih terhadap apa yang sudah mereka lakukan.

Dengan demikian yang harus diingat adalah, bahwa di hari suci itu sebagai seorang muslim harus tetap merefleksikan diri sebagai seorang yang telah mengalami masa perjuangan, terutama setelah bulan puasa dengan menahan tidak makan dan minum dan berhubungan seks dengan istrinya.

Oleh karena itu dalam melaksanakan halal bil halal itu juga dia harus dalam koridor keislamannya, dia harus tampil sebagai seorang muslim yang betul-betul mencerminkan sikap dan perilaku yang benar-benar muslim yang telah mengalami penempaan dan ujian dari Allah. Oleh sebab itu dalam lebaran seharusnya kita tidak boleh berfoya-foya, tidak boleh lepas kendali.

Halal bil halal itu berarti merupakan local wisdom

Ya, dan sepanjang yang saya ketahui ini tidak ditemukan di tempat-tempat lain selain di Indonesia.

Apa ada sejarah dibalik penamaan halal bil halal ini

Saya tidak tahu sejarah asal muasalnya. Mungkin ini ada kaitannya dengan kalau kita habis berpuasa itu kan selalu mengucapkan mohon maaf lahir dan bathin, taqabalallohu minna waminkum. What is name? Apalah arti sebuah nama, karena memang sampai sekarang belum ada penelitian yang mengupas sejarah halal bil halal ini.

Esensi dari kegiatan halal bil halal itu adalah adanya proses saling maaf memaafkan, dalam segi ini bisa gak kita samakan dengan rekonsiliasi?

Saya kira bisa saja, selama dalam konteks kemanusiaan. Manusia itu kan no body is perfect. Oleh karena itu dalam halal bil halal kita dituntut tidak saja untuk meminta maaf tapi juga memaafkan kesalahan sesama. Ini kan tradisi yang sangat baik sekali. Dengan memberi maaf, itu kan tuntutan ajaran Islam agar kita tidak dendam dan radikal. Dengan demikian secara sadar kita memahami bahwa Islam itu ramah, a friendly religion, agama yang betul-betul selalu mengupayakan pada kedamaian. Damai di hati, damai di bumi. Itu adalah esensi halal bil halal.

Perlu gak besok sebelum pemilu kita adakan kegiatan halal bil halal ini untuk membentuk sebuah platform kebangsaan?

Ya boleh saja, tetapi jangan terus dengan rekonsiliasi lantas kita melupakan kesalahan orang lain dalam aspek tertentu, misalnya aspek hukum. Seorang pejabat negara atau apa pun itu yang melakukan korupsi harus diproses secara hukum, walau pun kita sudah memaafkannya. Dosa itu kan ada macam-macamnya, ada dosa pribadi, dosa antarsesama dan dosa sosial. Dosa pribadi mungkin kita harus memaafkannya, tetapi sebagai dosa sosial misalnya dia melakukan korupsi itu harus diproses secara hukum.

Dalam kasus Bom Bali misalnya, secara pribadi mungkin kita sudah memaafkannya. Tetapi proses hukuman sebagai konsekuensi tindakannya harus jalan terus. Karena mereka sudah membuat banyak orang menderita.

Tetapi tempo hari dalam kasus Soeharto pernah terlontar wacana untuk membekukan proses hukumnya karena didasarkan atas nama kemanusiaan?

Dalam kasus itu saya tidak setuju. Dalam konteks kemanusiaan mungkin sudah kita maafkan, tapi kan dia harus bertanggung jawab secara sosial. Tindakan-tindakan dia yang melanggar hukum dan konstitusi harus diproses secara hukum, walau pun sebagai manusia kita sudah memaafkannya karena memang dia sudah melakukan banyak kerugian bagi masyarakat banyak.

Jangan karena motif tertentu, kita lantas melakukan kapitalisasi rekonsiliasi hanya semata-mata kita kasihan, empati dengan dia. Harus ada gentlemen agreement.

Dengan kata lain rekonsiliasi atau halal bil halal tetap menafikan aspek hukum dong?

Ya, memang seperti itu. Kita tahu pak Harto itu banyak jasanya kepada bangsa ini seperti banyak membangun masjid, memberikan beasiswa pendidikan, memperbolehkan adanya Bank Muamalat. Tetapi jangan karena hal-hal itu, lantas kita juga melupakan aspek hukum dari tindakan-tindakan yang sudah dilakukannya yang banyak melanggar hak asasi manusia seperti kasus Tanjung Priok atau pun kasus Talang Sari.

Walau pun itu dibuat oleh anak buahnya, tetapi sebagai pimpinan tertinggi bangsa ini kan dia harus bertanggung jawab. Ini juga belum bicara soal kerakusan dari anak-anak pak Harto, gak bisa kita melupakan proses hukumnya. Hukum harus jalan terus, keadilan harus ditegakan walau langit akan runtuh.

Berarti penting dong rekonsiliasi besok itu?

Saya kira tidak begitu. Yang lebih penting dari itu semua adalah mengembangkan sikap kenegarawanan, etika kenegarawanan. Etika kenegarawanan itu jauh lebih penting dibanding dengan rekonsiliasi nasional, karena itu kan sifatnya semu.

Tetapi kalau mau diadakan juga tidak apa-apa, saya rasa lebih tepat dikatakan sebagai dialog nasional antar para tokoh elit. Dialog nasional juga harus diarahkan pada koridor tetap melestarikan cita-cita atau komitmen untuk menjaga negara kesatuan atau NKRI. Komitmen yang tinggi terhadap Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa yang telah menjadikan kita semua melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara melalui platform atau istilah Cak Nur, kalimatun sawa dalam kehidupan berbangsa.

Poin lainnya yang lebih penting adalah, dalam mengadakan dialog nasional para elit-elit kita harus memiliki komitmen untuk memperbaiki Indonesia yang sekarang sedang terpuruk. Paska reformasi, bangsa ini banyak melahirkan politisi tetapi miskin negarawan. Dan ini yang sedang terjadi. Di DPR banyak korupsi, pejabat sekarang ini kalau mau jabatannya naik harus main sogok seperti yang sekarang ramai di masyarakat.

Dalam pepatah ada perbedaan antara politisi dengan negarawan. Kalau politisi itu kan a politician a think about the next position. A statesman think about the next generation. Polutisi itu hanya berfikir tentang jabatannya saja, tetapi seorang negarawan berfikir bagaimana meningkatkan kualitas generasi berikutnya. Seorang negarawan itu tidak populis, tidak berfikir untuk kepentingannya sendiri.

Apa ada model politisi atau pejabat yang tidak mau populis?

Ya kita lihat nanti, sejarah yang akan membuktikannya. Saya cukup sedih, ternyata setelah reformasi yang seharusnya banyak melahirkan tokoh-tokoh dan pemikir yang negarawan. Tapi kan ternyata berbanding terbalik. Saya ingin mengutip pendapatnya Bung Hatta di ujung demokrasi kita, “..suatu masa besar dilahirkan oleh abad, tetapi abad itu hanya melahirkan manusia kerdil”. Suatu masa besar itu reformasi setelah pak Harto jatuh, sejarah ingin membuktikan bahwa reformasi akan melahirkan tokoh-tokoh besar. Tetapi alih-alih melahirkan tokoh besar, yang ada malah politisi-politisi kerdil. Itu ucapannya Bung Hatta, dan terjadi sekarang ini.

Menurut anda sekarang ini bangsa kita tidak memiliki satu pun negarawan?

Ya ada, tapi hanya sedikit. Contoh yang sedikit itu diantaranya adalah Buya Syafi’i (Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif-red) yang kemarin baru dapat Ramon Magsaysay Award. Beliau ini sangat konsisten, dan karyanya pun nyata. Beliau adalah tipe orang yang tidak mau populis, saya salut dengan perjuangannya. Selain Buya Syafi’i, kalau masih hidup, adalah Cak Nur. Sekarang ini yang banyak adalah masih dalam tataran politisi, bukan negarawan.

Orang-orang seperti SBY, Jusuf Kalla, Wiranto dan Megawati bukan tipikal negarawan?

Mungkin dalam diri mereka masih sedikit muncul sosok-sosok negarawan, belum sepenuhnya berjiwa negarawan. Ibu Megawati contohnya, saya kira punya sikap kenegarawanan, Gus Dur juga punya, atau Amien Rais. Hanya tingkatannya saja.

Parameter seorang tokoh memiliki sifat kenegarawanan itu apa?

Menurut saya para founding fathers itu adalah negarawan. Bung Karno itu adalah contoh terbaik seorang negarawan, Bung Karno itu orang besar. Bung Hatta juga orang besar, Natsir atau Sam Ratulangi juga orang-orang besar. Mereka semua adalah tokoh-tokoh besar yang memiliki sifat kenegarawanan sejak masih muda. Natsir misalnya, waktu jadi menteri itu bajunya cuma satu. Jadi beliau ini sangat sederhana sekali.Prof. George MT. Kahin mendengar cerita dari anak buah Natsir di Departemen Penerangan, bahwa anak buahnya itu iuran untuk membelikan baju baru buat Natsir. Jadi keteladanan seperti itu yang perlu dicontoh.

Ir Sukarno itu orang besar dan seorang negarawan. Tanpa Soekarno, bangsa ini tidak akan pernah merdeka. Dia juga merupakan inspirator bagi bangsa ini. Pancasila itu adalah karya intelektual Sukarno yang memikirkan nasib bangsa ke depan. Nah, seorang negarawan itu par excellent.

Tokoh-tokoh seperti ini sekarang sangat jarang. Politisi sekarang ini lebih banyak berorientasi pada ”moneyisme”, uang yang bicara. Dan sekarang ini kita sedang mengalami krisi kenegarawanan.

Memilih presiden saja, kita tidak tahu. Kan seharusnya calon presiden yang akan dipilih nanti itu harus dilihat dari track recordnya. Apakah ada jasanya bagi bangsa ini, apa ada karya-karya dia yang kongkrit bagi masyarakat. Tetapi sekarang ini posisi-posisi tersebut bisa didapat dengan mudah hanya dengan mengiklankan di televisi, track recordnya tidak dilihat. Dan sayangya generasi muda sekarang ini juga malah ikut-ikutan. Mereka tidak memiliki sensivitas.

Dalam hal ini siapa yang salah, masyarakat atau politisinya?

Dua-duanya. Politisi salah karena mereka ini kalau dalam istilah Prof. Koentjaraningrat, memiliki mentalitas menerabas, mereka ingin mendapatkan segalanya dengan instan. Selain itu juga masyarakat kita menerima kenyataan ini.

Tapi iklan juga kan penting untuk meningkatkan popularitas di masyarakat?

Boleh saja, hanya kan substansi iklannya itu seperti apa. Menurut saya…….. terpotong

Lebih baik yang diiklankan itu adalah mereka yang jelas-jelas sudah memiliki karya yang bermanfaat bagi masyarakat. Dan yang lebih penting lagi adalah, dalam iklan itu diangkat martabat orang-orang kecil dengan karya nyata. Jangan hanya merekayasa saja. Seorang pemimpin itu akan ditempa melalui perjalanannya, melalui kehidupan dan interaksi sosialnya dengan masyarakat. Lebih dari itu juga seorang pemimpin, dinilai dari aspek penampilan integritasnya. Dia akan diuji dan rakyat kita juga akan mengujinya.

Lalu tadi yang berkaitan dengan social ekonomi, rakyat akan terus berbicara dan merasakan, seperti sekarang ini pada masa pemerintahan SBY. Apakah rakyat akan terus memilihnya atau tidak, mereka sudah tahu karena memang sudah kritis. Dari hasil survey saja kita kan bisa lihat grafik SBY sekarang ini sedang menurun. Itu merupakan buah hasil dari kerjanya sendiri.

Salah satu hal yang sekarang ini masih bisa dirasakan adalah belum terpecahkannya, dan menurut saya ini akan mengancam eksistensi NKRI. Ini masalah yang berkaitan dengan eksistensi kebebasan beragam. Ini kan sangat mendasar sekali. Kebebasan beragama itu embedded, hak yang melekat dalam hak asasi manusia.

Coba lihat sekarang ini pada masa SBY, susah sekali kita bisa berbeda pendapat. Juga hal-hal yang berkaitan dengan respeksifitas dalam berhubungan dengan orang lain yang berbeda keyakinan. Ini berbeda sekali dengan pemerintahan sebelumnya, yang relative lebih maju.

Di Jawa Barat misalnya, sekarang ini malah muncul gerakan anti pemurtadan yang melakukan pressure dan ancaman terhadap orang-orang yang berbeda agama dan memaksa menutup tempat ibadah mereka. Kemudian kasus yang terakhir adalah Ahmadiyah, sehingga peristiwa 1 Juni 2008 terjadi. Saya merupakan salah satu korbannya, kepala saya kena pukul waktu itu.

Semangat toleransi sekarang ini semakin renggang, tiadanya rasa untuk berbagi dengan sesame. Karena berbeda pendapat, lantas mereka dikriminalisasi. Itu semua menunjukan bahwa sebenarnya kita ini merupakan bangsa yang rawan terhadap kenyataan-kenyataan seperti ini. Dan celakanya lagi, sampai sekarang posisi hukum orang Ahmadiyah itu tidak jelas dalam negara ini.

Ahmadiyah datang ke Indonesia pada tahun 1920, jauh sebelum bangsa ini merdeka. Bung Karno sendiri sebagai founding fathers tidak setuju dengan Ahmadiyah, tetapi dia mengundang Ahmadiyah untuk berdialog. Itu jiwa yang besar sekali. Tokoh-tokoh dulu itu, kalau pun di antara mereka terdapat perbedaan pendapat tetapi tidak sampai membuat mereka terpecah.

Natsir itu tokoh Masyumi, dia berdebat keras dengan Aidit dari PKI di persidangan konstituante. Habis berdebat mereka minum kopi bersama dan bercanda. Orang jaman dulu itu luar biasa sekali.

Sekarang bagaimana? Beda pendapat saja dilarang, langsung disebut murtad, kafir dan mau diusir.

Anda menilai pemerintahan SBY tidak memiliki ketegasan dalam politik kebebasan beragama?

Ya. Pertama, yang harus dilihat sekarang ini adalah adanya pressure atau tekanan-tekanan dari kelompok garis keras. Dan ini lebih diperparah oleh MUI (Majlis Ulama Indonesia-red) yang berusaha terus menerus untuk memperkuat diri sendiri dan terus mengintervensi pemerintah. Sementara pemerintah kita sendiri tidak memiliki ketegasan, bukan saja dalam peraturannya bahkan di lapangan juga tidak tegas.

Aparat keamanan kita ini malah membiarkan masjid-masjid Ahmadiyah dihancurkan, bahkan di Manis Lor itu dibiarkan hancur. Aparat keamanan itu kan seharusnya bersikap netral, tidak memihak dan tetap melaksanakan komitmennya dalam penegakan hukum.

Hukum harus ditegakan, tidak semata-mata membiarkan kejadian itu terus menerus terjadi. MUI juga malah mengeluarkan fatwa. Masyarakat kan tidak tahu kalau fatwa itu, Fatwa is legally logingin but not is legally binding. Fatwa itu pendapat hukum, tapi tidak mengikat secara hukum.

Kita bisa menerima atau menolak fatwa.

Dulu MUI mengeluarkan fatwa bahwa perempuan tidak bisa jadi presiden, bagaimana itu? Kan memang kenyataannya tidak bisa. Saya masih ingat betul peristiwa ini, dari mana dalilnya mereka mengatakan seperti itu. Semuanya kembali ke MUI sendiri. Dan perlu diingat bahwa MUI itu dibentuk pada masa Soeharto pada tahun 1975, fungsi sebetulnya adalah menjadi bridging antara pemerintah dengan masyarakat.

Sekarang ini MUI bermain politik lewat produk fatwa, dan lewat tindakan orang-orang tertentu yang mendominasi kepengurusan di lembaga tersebut. MUI itu dikuasai oleh kelompok konservatif, dan sudah keluar dari fungsi awalnya .

Saya sendiri tidak setuju dengan teologi Ahmadiyah, terutama Ahmadiyah Qadiyan. Tapi saya terbiasa berdiskusi dengan mereka, mereka juga punya hak hidup. Mereka kan berbadan hukum sejak 1953. Saya tidak membela Ahmadiyah sebagai sebuah ideologis atau pun teologis, yang saya bela adalah hak-hak warga negara. Kenapa mereka dikriminalisasi? Kenapa mereka diperlakukan seperti itu?

Mungkin karena banyaknya kepentingan di negara kita?

Ya. Dan kita tidak tahu mana kepentingan yang benar, dan mana kepentingan sesaat. Saya setuju dengan sikap politik Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) terkait dengan kasus kebebasan beragama, mereka punya sikap yang tegas. Juga hadir waktu di Mega Centre, memang harusnya seperti itu.

Kita ini kan hidup di negara kesatuan, dan jangan sekali-kali berfikir untuk mendirikan Negara Islam. Republik kita terkoyak-koyak karena gagasan negara Islam. Para Founding fatrhers kita saja tetap setia pada pancasila, pancasila itu sebagai modal bangsa kita. Tidak ada sila-sila dalam pancasila yang bertentangan dengan Islam. Dan yang lebih penting lagi adalah nasionalisme kita adalah nasionalisme yang didasarkan pada pandangan atau tujuan bahwa kita sebagai bangsa ini memiliki identitas, punya kebanggaan.

Nasionalisme kita bukan nasionalisme cangkokan dari barat, tetapi nasionalisme yang khas Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Soekarno sendiri.

Kembali ke tema pembicaraan kira. Perlukan diadakan pertemuan yang bertajuk halal bil halal atau pun rekonsiliasi nasional yang menghadirkan elit-elit kita?

Perlu, tetapi substansinya lebih dititikberatkan pada usaha-usaha untuk berfikir secara kongkrit, berfikir kerakyatan dan peduli pada nasib wong cilik. Tapi persoalannya apa elit-elit kita itu mau dipertemukan? Kalau mau fair, mereka itu harusnya bicara dari hati ke hati. Perbedaan pendapat itukan sesuatu yang biasa, dan dalam Islam itu merupakan rahmat. Jangan karena alas an berbeda pendapat lantas menimbulkan antipati. Kritik ibu Megawati terhadap SBY soal lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap wong cilik jangan dianggap sensitive. Begitu juga sebaliknya. Kalau kritik itu membangun, kita harus menerimanya dengan lapang dada.***

Monday, September 1, 2008

Mencintai Alam Lewat Pelajaran


Kepedulian Lewat Green Kurikulum


Membuat perubahan tak semuanya harus dimulai dari hal-hal besar. Sesuatu yang pada awalnya tak dianggap ternyata bisa membawa manfaat besar bila dilakukan dengan kesungguhan. Seperti apa yang dilakukan oleh Teti Suryati di lingkungan tempat tinggalnya.

Bermula dari keprihatinannya terhadap lingkungan tempat di mana dia tinggal, Teti Suryati terdorong untuk mengajak dan mengajarkan kepada warganya bagaimana cara mencintai lingkungan. “Tempat tinggal saya sangat kumis mas” kata Teti mengawali perbincangannya dengan Baitul Muslimin. Kumis yang dimaksud Teti, bukanlah kumis yang banyak dimiliki kaum Adam melainkan kumuh dan miskin. “Bayangkan saja, hampir 40% tempat tinggal di tempat saya adalah kost-kostan. Jadi wajar saja, kalau mereka kurang peka karena kan pendatang dan waktu tinggalnya pun gak pasti” ujarnya lebih jauh.

Kondisi tempat tinggal yang kumuh dan miskin inilah justru yang membuat Teti Suryati berfikir lebih kreatif dalam melestarikan lingkungannya. Keengganan warga pada waktu itu dijawab Teti dengan ajakan-ajakan kepada warga untuk mulai menanam. “Penghuni kost-kostan saja kami wajibkan untuk menanam dan merawatnya,”

Kepedulian Teti Suryati dalam menjaga lingkungan tempat tinggalnya membuat dia terkenal di kalangan masyarakat luas. Ia sering diundang ke berbagai daerah di Tanah Air oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) guna berbagi ilmu membuat kompos. Teti membuktikan setinggi apa pun pengetahuan yang dimiliki tidak akan berguna tanpa dipraktikkan.

Kampanye Berbuah Hasil

Semuanya bermula dari sesuatu yang tidak diharapkan. Kondisi lingkungan tempat tinggal yang kumuh dan sempit menginspirasi dia untuk mengajak warga mengubahnya menjadi lingkungan yang bersih dan hijau. Ia minta setiap rumah menanam dua pohon. Selain itu, setiap pukul 16.00, mereka juga diwajibkan membersihkan halaman masing-masing. Bagi warga yang tak bersedia, ada denda menyediakan dua pohon di depan rumah.

Komitmen Teti Suryati terhadap lingkungan pada awalnya tidak berbanding lurus dengan respon masyarakat tempat dia tinggal. Maka tidak mengherankan bila langkah-lagkah yang dilakukan Teti sering kali mendapat cibiran. ”Setiap kali saya ceramah soal pengolahan sampah rumah tangga, warga malah bertanya ngapain susah-susah ngurus sampah?’ Mereka merasa sudah membayar retribusi kebersihan, jadi enggak perlu pusing mikirin sampah,” cerita Teti.

Tanggapan kurang bersahabat pun tak berhenti sampai di situ. Ketika Teti mencoba untuk mengajak warga untuk belajar membuat kompos sebagai media tanam. “Banyak warga yang menanggapi buat apa beli kompos? Mending beli saja, kan harganya cuman Rp. 1.000 per kilogram. Lagian kita juga kan gak repot,”.

Tetapi sikap apatis dan kurang mendukung dari warga tempat tinggalnya tak menyurutkan semangatnya untuk berbagi dan mengubah paradigma berpikir masyarakat soal bagaimana menjaga lingkungannya. Berbagai sikap apatis dan keluhan itu justru diterimanya dengan sikap positif, dan dengan ide kreatif pun Teti lantas menciptakan komposter untuk mengurangi sampah di rumah.

Kegiatan ini pada akhirnya membiasakan warga di kampung Bulak untuk terbiasa memilah sampah di rumah. Sampah organik warga itu dikumpulkan di enam posko, sedangkan sampah nonorganik, seperti kertas, plastik, dan kayu, dijual atau dibuat kerajinan tangan. Petugas kebersihan hanya mengangkut sampah yang sama sekali tak bisa didaur ulang. ”Menumbuhkan kesadaran warga untuk memisahkan sampah tidaklah semudah membalikan tangan” kata instruktur pendidikan lingkungan hidup bagi guru-guru program Western Java Environment Management Project (WJEMP) 2003. Bayangkan saja, untuk sampah dapur saja misalnya, Teti Suryati menghitung hampir 1,5 kilogram sampah dihasilkan dari tiap rumah. Dan ini belum dikalkulasi dengan sampah-sampah lainnya seperti sampah pasar, jalanan, pusat perbelanjaan dan industri.

Komposter buatan yang didesain Teti berbahan kaleng bekas cat berukuran 25 kilogram, yang diberi alat pemutar pada bagian samping atau tutup kaleng. Alat pemutar ini sekaligus berfungsi untuk memilah sampah berdasarkan jenisnya, ada sampah anorganik dan sampah organik. Tak hanya sampai di situ, untuk mengikuti trend dan selera masyarakat pun Teti berusaha mengembangkan 13 tipe komposter dengan bahan baku kaleng dengan alat pemutar. Tahun lalu, dia mengembangkan komposter gantung yang dibuat dari tempayan air, untuk mengajari warga membuat kompos cair. Untuk model terakhir ini malah bisa digantung dan cocok untuk tipe rumah tak berhalaman.

Kegiatan warga tempat di mana Teti tinggal dalam memisahkan sampah berdasarkan jenisnya membuat lingkungan yang tadinya kumis—kumuh dan miskin—menjadi bersih dan asri. Maka tak mengherankan berbagai penghargaan pun banyak di raih. Selama tahun 2004-2006 misalnya, RW 15 selalu menjadi juara ketiga RW bersih dan sehat tingkat Provinsi DKI Jakarta. Dan pada tahun 2007, RW 15 menjadi juara nasional RW Bersih yang diselenggarakan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Green Kurikulum

Langkah Teti untuk mengenalkan pengolahan lingkungan tak terhenti sampai di lingkungan tempat tinggalnya. SMA 12 Jakarta, tempat dia bekerja pun menjadi sasaran berikutnya. Lewat penerapan kurikulum berbasis lingkungan, dia mulai menggagas pelajaran lingkungan hidup sebagai muatan lokalnya.

Dalam sistem pendidikan sekarang ini, Direktorat Pendidikan Menengah Tinggi (Dikmenti) Depdiknas memang memberikan keleluasaan bagi semua sekolah untuk mengajarkan kearifan lokal (local wisdom) sebagai muatan lokal (mulok). Di tempat kerjanya Teti ditunjuk sebagai koordinator untuk membuat silabus dan sistem kompetensi muatan lokal ini. Dalam satu minggu, Teti dan teman-temannya punya waktu dua jam untuk mengkampanyekan lingkungan lewat pelajaran di sekolah.

Di laboratorium, anak-anak didiknya diberi mata pelajaran dan keahlian khusus mengenai pembuatan kompos. Bukan hanya sebatas teori, praktik pembuatan kompos juga dilakukan. Maka tidak heran, lingkungan SMAN 12 Jaktim menjadi hijau dan asri. Coba saja keliling di sekitar sekolah ini banyak terdapat tanaman yang terawat bersih dan hijau. Ini juga didukung dengan adanya sebuah taman di tengah-tengah sekolah yang menambah asri dan teduh suasana sehingga bisa mendukung suasana belajar mengajar.

“Anak-anak didik, saya kasih materi yang ada hubungannya dengan lingkungan, cara pengolahan sampah, dan hemat energi” ujarnya. Langkah Teti bersama guru-guru lainnya menerapkan kurikulum berbasis lingkungan membuahkan hasil. Tak lama berselang setelah penerapan kurikulum model unik ini, SMA 12 tempatnya mengajar terpilih sebagai sekolah berwawasan lingkungan tingkat nasional oleh sebuah lembaga nirlaba internasional yang concern dalam upaya pelestarian lingkungan hidup.

“Walau pun meraih juara kedua, tapi ini merupakan prestasi yang membanggakan bagi kami” tambah perempuan yang menjadi Kader Lingkungan Hidup Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2006. Dalam kompetisi tersebut, siwa-siswa SMA 12 diajak Teti untuk mengolah sampah plastik yang selama ini menjadi masalah besar bagi kota-kota padat seperti Jakarta untuk dijadikan aksesoris. Hasilnya lumayan bagus, berbagai pernik seperti lampu hias yang terbuat dari botol minuman softdrink, tempat sampah dari botol minuman mineral, tas plastik dari bungkus detergen, dan berbagai aksesoris lainnya.

“Tapi untuk sementara aksesoris ini tidak diproduksi untuk kegiatan komersil. Mungkin nanti akan kita arahkan lebih jauh ke sana” ungkap istri Heriyanto yang juga terpilih menjadi Kader Lingkungan Jakarta Green and Clean 2006 oleh sebuah perusahaan lewat program corporate social responsibility (CSR).

Langkah Teti yang gencar memperkenalkan pengolahan sampah skala rumah tangga dan sekolah ini menarik perhatian berbagai pihak yang peduli lingkungan hidup. Dan yang lebih membanggakan, langkah Teti Suryati menerapkan green kurikulum misalnya sudah banyak diikuti oleh sekolah-sekolah lainnya baik itu di Jakarta maupun luar Jakarta.

Berbagai tawaran dan undangan pun banyak berdatangan. “Besok saya harus sudah ada di Depok untuk memberikan materi soal lingkungan mas” katanya kepada Baitul Muslimin. Tapi tentu saja, di tengah kesibukannya sebagai aktivis lingkungan hidup, Teti tak serta merta melupakan tugas utamanya yaitu sebagai tenaga pengajar di SMA 12 Jakarta.*** (Leli/BM)