Sunday, November 16, 2008

Wawancara


“Ini Soal Selera Interpretasi”


Fundamentalisme agama menjadi bahaya laten, yang setiap saat akan muncul di masyarakat. Fundamentalisme sendiri merupakan paham politik yang dianut suatu kelompok yang menjadikan agama sebagai basis ideologi dalam mengkonsepsikan kehidupan bermasyarakat. Banyak faktor yang memicu kemunculan gerakan fundamentalisme ini, salah satunya adalah soal adanya pemahaman keagamaan dan ketidakpuasan sosial ekonomi. Menurut Hamid Basyaib, agama menjadi kendaraan yang efektif untuk menyalurkan sikap ketidakpuasaan tersebut. “Orang-orang seperti Sayyid Quthub, itu hendak meringkus agama menjadi sekedar ideologi begitu juga dengan Maududi” ucap Direktur Eksekutif Strategic Political Intelligence (SPIN) dan Deputi Direktur Freedom Institute. Untuk mengeksplorasi lebih jauh pandangan intelektual Islam ini, saya berdiskusi panjang dengan aktifis Islam Liberal ini di kantornya di daerah Pancoran. Berikut petikannya :

Kekuatan Islam fundamental di Indonesia selama ini seperti bahaya laten, bagaimana menurut anda apa yang menyebabkannya?

Saya kira itu merupakan gabungan dari berbagai faktor, dan itu klasik lah. Dan salah satu faktor yang menyebabkannya adalah adanya pemahaman atau selera interpretasi. Dalam semua agama sudah diakui bahwa banyak sisi. Orang yang kemudian yang disebut fundamental itu kemudian mengambil bentuk interpretasi tertentu saja, dan mengabaikan interpretasi orang lain.

Dan ini sebenarnya merupakan debat yang panjang sekali, dan saya sampai sekarang tidak tahu harus bagaimana menangani isu ini. Karena dari satu segi harus diakui bahwa semua penasiran itu jadinya sah, hingga akhirnya semua itu terserah bagaimana seleranya dan mungkin mereka sukanya bagian-bagian perang saja, yang mengandung unsur kekerasan. Tapi intinya adalah adanya semangat untruk memahami atau memaknai ajaran agama dalam bentuk yang mereka persepsikan sebagai ajaran agama yang murni, mereka langsung rujukannya ke jaman Nabi, dan menurut saya ini yang harus dipertanyakan.

Sebenarnya ajaran yang murni itu yang bagaimana? Nggak ada yang tahu, atau memang gak ada itu yang namanya ajaran murni. Jadi sejak awal agama itu kan terbuka dengan semua kemungkinan interpretasi, sehingga dapat dikatakan bahwa bentuk yang dipraktekan oleh generasi Nabi atau generasi awal umat pertama yang membangun di Madinah, itu sebenarnya bukan merupakan satu-satunya bentuk. Di sini saya katakan bahwa itu merupakan salah satu bentuk saja, karena bentuk atau model penghayatan dan pengamalan Islam pada waktu itu pasti terkait dengan situasi historis. Situasi tingkat perkembangan ekonomi, sosial, intelektual di suatu jaman, di suatu tempat. Ini kan semuanya disesuaikan dengan lanskap sosial, politik dan ekonomi yang terjadi di masyakarat. Jadi itu bukan satu-satunya bentuk. Nah, itulah sebabnya ketika Islam berkembang di berbagai tempat, dengan lanskap yang berbeda pula maka Islam itu bisa diamalkan dengan cara yang berbeda pula, dan itu sama-sama sah.

Anda bayangkan, dalam Islam itu kan tidak ada beduk, karena beduk itu merupakan budaya Cina. Tapi di Jawa dan berbagai daerah lainnya itu kan merupakan salah satu tradisi slam. Atau tasbih yang sebenarnya itu merupakan tradisi biksu Budha. Tapi kenapa umat Islam menyerapnya sebagai bentuk pemahaman keagamaan mereka. Sebenarnya kan tradisi saling pengaruh mempengaruhi dalam pemahaman keagamaan merupakan hal yang biasa, atau malah dianggap sebagai sesuatu yang diperlukan.

Tadi anda mengatakan bahwa keragaman pemahaman agama itu sebagai sesuatu yang sah, berarti pemahaman yang selama ini dikembangkan kelompok fundamental itu juga sah?

Iya. Masalahnya adalah derajat keotentikannya, mana yang lebih otentik. Contohnya dalam pembacaan sebuah teks, ambil saja tema utamanya adalah tentang kemakmuran ekonominya, lalu ada frase-frasenya. Ada yang mengatakan bahwa situasi sekarang ini di warnai oleh kondisi kemiskinan yang akut misalnya, pertanyaannya apakah kalau orang-orang mengambil frase-frase itu lalu itulah yang dijadikan fokus utama. Apakah itu sah atau tidak? Bukankah tema utama dalam teks itu bicara tentang kemakmuran ekonomi? Bahwa teksnya yang bicara tentang kemiskinan itu ada dalam tubuh lengkap teksnya, memang iya. Tapi pertanyaannya, apakah itu sah kalau kemudian itu diambil dan kemudian didalami seolah-olah bahwa teks tadi itu bicara tentang kemiskinan yang meraja lela. Menurut saya ini tidak sah, karena secara garis besar teks itu kan sedang bicara kemakmuran ekonomi.

Saya kira itu yang terjadi dengan model-model interpretasi yang macam-macam seperti sekarang ini, orang-orang itu tidak tahu konteks besarnya dalam sebuah wacana. Mereka itu hanya mengambil penggalannya saja dan kemudian dianggap benar. Saya kira ini juga terjadi dalam kitab suci, oleh sebab itu para pembaharu (keagamaan-red) terus menerus mengajak orang untuk memahami isu pokok. Fazrul Rahman misalnya dalam buku The Mayor Themes of the Qur'an, itu merupakan upaya pokok dia untuk mengajak masyarakat untuk memahami apa sebenarnya isi pokok al quran itu. Yang lain-lain itu memang ada dalam alquran, tapi bukan yang utama. Tidak bisa kita berfokus pada yang pinggiran itu, karena inilah yang utamanya. Misalnya pesan pokok alquran itu adalah keadilan, sementara yang lain-lain itu hanya penunjang saja. Soal ibadah dan tata caranya misalkan itu kan soal pinggiran yang gak penting. Menurut saya di sini masalahnya adalah mungkin karena keterbatasan, atau motif-motif lain dari para pemimpinnya yang mengajak pengikiutnya itu untuk terlalu peduli atau berokus pada hal-hal yang pinggiran yang bukan fokus utama agama.

Nah, tantangan bagi para pembaharu adalah bagaimana menarik secara terus menerus masyarakat terhadap isu-isu pokok dan bukan suntuk pada isu pinggiran. Kalau energi dan perhatian umat difokuskan pada hal-hal yang pinggiran, maka bahaya terbesarnya adalah mereka abai dengan isu pokoknya. Dan itu biayanya sangat besar sekali, biaya kultural dan biaya-biaya yang lainnya. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah kenapa sekarang ini banyak orang yang meleset dari isu-isu pokok itu, ini yang menurut saya yang harus disikapi. kenapa ide-ide pokok itu begitu sulitnya ditangkap, kenapa itu hanya ditangkap oleh orang-orang yang sedikit seperti Fazrul Rahman dan Nurcholish Madjid. Yang lainnya kok suntuk pada isu-isu pinggiran, mereka itu jumlahnya ratusan juta orang. Saya bicara dalam konteks global, bukan hanya Indonesia saja karena memang inilah yang sedang terjadi di dunia Islam.

Tapi apakah dapat disamakan kemunculan kelompok fundamental di Indonesia dengan wilayah-wilayah lainnya?

Kurang lebih sama, tadi saya bicara baru satu faktor. selain faktor pemahaman, faktor lainnya adalah adanya ketidakpuasan sosial ekonomi. Ini sebenarnya risetnya sudah lama sekali sampai ada teori sosiologi yang mengatakan bahwa semuanya itu memiliki korelasi positif dengan kemiskinan. Memang belakangan setelah tragedi World Trade Centre (WTC) 9/11, teori ini mendapat bantahan keras karena pelaku-pelaku pengeboman itu rata-rata orang kaya, sekolahnya juga tinggi. Tapi saya kira itu merupakan exception, merupakan perkecualian. Saya masih percaya pada teori sosiologi yang lama yaitu bahwa secara umum masih terkait. Kita lihat secara profil demografi atau psikologi para pengikut kelompok-kelompok fundamentalis, mereka kan umumnya bukan dari kalangan kelas menengah atau atas, pendidikannya kurang. bahkan ada gejala juga bahwa yang ikut gerakan mereka itu kan pendidikannya umum. Coba kita lihat pesantren kan satu dua aja seperti Amrozi, pesantren itu kan umumnya tidak radikal. Di perkotaan misalnya, yang ikut gerakan radikal itu kan bukan anak UIN (UniversitasNegeri Islam), dia malah anak UI, anak ITB, UGM dan biasanya fakultasnya juga berhubungan dengan ilmu alam seperti MIPA, Kedokteran dan Teknik.

Untuk melawan gejala ketidakadilan sosial ini kemudian agama dijadikan sebagai kendaraan nyang efektif untuk menyalurkan sikap ketidakpuasaan itu, dan menjadikan agama sebagai ideologi. Orang-orang seperti Sayid Quthub, itu hendak meringkus agama menjadi sekedar ideologi begitu juga dengan Maududi. Saya kira mereka itu merupakan bapaknya radikalisme modern abad 20, karena memang radikalisme itu kan gejala baru muncul abad 20. Kalau dulu kan yang ribut dalam Islam biasanya antar faksi, antar sekte seperti Syiah-Suni, Mu'tazilah, NU-Muhamadiyah. tetapi gerakan radikalisme Islam modern yang menyusun agneda-agenda politik, mensistematisasi ketidakpuasan dengan sebuah gerakan yang tersistematis dan kemudian mengaitkannya pula dengan ajaran-ajaran agama, ini terjadi pada abad 20 dengan kemunculan Ikhawnul Muslimin. Dengan itu pula saya hendak mengatakan bahwa sebetulnya sebagian besar model wacana perlawanan yang berdasarkan agama di Indonesia, sebenarnya merupakan duplikasi langsung dari Timur Tengah. Cuman para pembaca di Indonesia ketika sedang membaca buku-buku karangan orang Timur Tengah seolah-olah itu universal, padahal kan nggak. Mereka (orang-orang Timur Tengah-red) kan sedang bicara tentang negeri masing-masing atau paling nggak wilayah atau kawasan Timur Tengah.

Orang seperti Sayyid Quthub itu kan tidak puas kalau kearaban, atau keislaman itu tergusur. Dan memang ekspose mereka terhadap kekuatan-kekuatan asing, barat itu kan sangat besar sekali hingga saat ini. Kita sebetulnya tidak mengalami ekspose setinggi mereka, maka secara teoritis sebenarnya kan kita tidak perlu seradikal mereka. Tapi karena bahan-bahan bacaannya yang masuk ke sini adalah terjemaahan-terjemaahan dari karya mereka, maka itulah yang terjadi.

Anda juga catat sekali lagi, bahwa banyak anak-anak kita dari NU atau Muhamadiyah terutama yang sekolah ke Kairo dengan jumlah yang banyak sekali. Ketika mereka pulang ke Indonesia, apakah mereka membawa radikalisme? Tidak kan. Kenapa ? Karena mereka mempelajari Islam secara lebih lengkap, atau malah liberal sebagian, mereka juga mempelajari agama Yahudi, kristen dan makin mengerti bahwa hal-hal yang kita anggap unik dalam agama kita sendiri ternyata sebenarnya juga nggak. sebelumnya juga sudah ada dalam agama yahudi, dalam lingkungan sosial Timur Tengah, bahkan sebelum adanya agama Yahudi kan sudah ada praktik-praktik yang kita anggap unik ini.

Ada pandangan bahwa menguatnya kelompok fundamental merupakan anitesis terhadap maraknya ide-ide liberalisme

Saya kira justru yang terjadi adalah sebaliknya. Kelompok-kelompok liberal itu pada awal kemunculannya sebagai reaksi atas maraknya gerakan fundamental. Tapi memang perlu dicatat pada titik tertentu kemudian gak jelas lagi, siapa yang memulai. Saya ingin mencatat bahwa sikap kelompok-kelompok fundamental itu makin beringas ketika melihat ide-ide liberal yang dianggap akan merusak keutuhan Islam, itu bisa kita mengerti. Tapi sejarah kelahirannya, justru terbalik hanya kan generasi-generasi sesudahnya kan tidak tahu sehingga seakan-akan mereka itu merupakan kekuatan yang sedang mereaksi gerakan liberal. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya, dari dulu kan yang menggejala itu kan konservatisme.

Pandangan yang menyudutkan bahwa gerakan liberalisme itu dapat dukungan dari Amerika

Wah, itu kan sudah lama sekali idenya dan sama sekali tidak benar. Gerakan kita kan mau memodernisasi, kalau agendanya cocok dengan Amerika juga tidak apa-apa, sebagaimana kelompok mereka yang menerima bantuan dari Timur Tengah. Masalahnya, kenapa kalau ada bantuan dari Arab Saudi itu bagus dan tidak jadi masalah sementara kalau dari negeri lain kok bermasalah. Kenapa? Kalau kita mau bicara tentang nasionalisme ya sama saja, Arab dan negara-negara lain kan juga asing. Kita kan berdaulat masing-masing, negeri masing-masing. Apakah Indonesia diperhitungkan penting oleh negara-negara Timur Tengah? Menurut saya tidak juga. Mereka itu sombong, malah mereka melihat kita dengan nada setengah menghina. Jangankan kita, yang non-arab dalam konteks keagamaan bagi mereka tidak paham tentang Islam. Pandangan itu umum, makanya saya sedih, ironis melihat mereka yang menyanjung-nyanjung mereka (Arab). Lha mereka saja melecehkan kita, mereka itu menganggap bahwa yang mengerti Islam itu hanya mereka, kan sudah jelas bahasanya Arab, nabinya orang Arab. Jadi orang luar Arab itu gak bakalan ngerti, kalau pun ngerti ya sedikit aja. Pandangan seperti itu tidak terhadap kita saja, terhadap orang-orang persia pun sama. mereka dianggap tidak faham Islam, makanya menurut mereka yang ditekuni oleh orang-orang Persia itu syiah beda dengan mereka yang sunni.

Kelompok fundamental sering melakukan tindak melawan hukum dalam setiap aksinya yang terkadang membuat risau masyarakat lainnya, tapi tak ada kelompok lain yang bertindak begitu juga dengan negara

Itu yang justru sangat kita sesalkan, mestinya pemerintah itu harus lebih tegas lagi. Tapi kalau dibilang bahwa pemerintah itu tidak tegas juga tidak sepenuhnya benar, misalnya yang terjadi sekarang ini kan mereka (kelompok fundamental) diproses secara hukum. Saya melihat pemerintah itu bersikap sangat hati-hati terhadap kelompok fundamental, ini sangat berbahaya karena kelompok-kelompok fundamentalis itu menempatkan diri sebagai representasi yang paling sah dari Islam. Ini yang tidak betul, dan semestinya pemerintah juga sadar bahwa kelompok ini kan salah satu kelompok saja dan belum tentu besar. Walaupun kelompok fundamental itu juga kan punya hak hidup, tapi kan sama saja haknya dengan kelompok-kelompok lain seperti kelompok pecinta anggrek, kelompok musik sama saja dalam konteks negara. Kenapa mesti diistimewakan? Dalam Islam juga kan macam-macam, ada tariqat, sufi. Kalau mereka kelompok fundamental mau menegakan syariat ya silahkan saja, asal tidak melanggar hukum. Mestinya pemerintah itu punya pandangan yang clear, yang jernih dalam soal pengelompokan sosial dalam sebuah negara. Sepanjang mereka tidak melanggar hukum, silahkan hidup tapi begitu mereka melanggar hukum ya n harus ditindak sesuai hukum. Masalahnya pemerintah itu kan terlalu takut dengan menganggap isu ini sangat sensitif. Mungkin sensitif, tetapi kan seharusnya upaya-upaya penjernihan persoalan harus segera dilakukan.

Di sini juga pentingnya peran-peran dari kelompok lainnya seperti NU dan Muhamadiyah, mereka juga harus terus menerus menyuarakan bahwa representasi Islam itu bukan mereka, bukan kelompok-kelompok itu. Kalau mau dianggap paling mewakili kan sebenarnya kedua kelompok ini, karena mereka itu kan dua kelompok terbesar. Saya berharap mereka menyuarakannya lebih lantang dari sekarang ini, sebab mereka itu kan memiliki pengikut yang besar sekali dan memiliki garis pandangan yang moderat.

Tapi kenapa kedua kelompok yang tadi anda sebutkan kan tidak bereaksi keras terhadap hal ini

Itu yang kita harapkan, sebetulnya dua pilar umat islam indonesia itu yang seluruhannya bisa mencakup 100 juta jiwa islam di Indonesia, mesti jelas lagi menyuarakan sikap moderasi mereka dalam menangkal radikalisme kelompok lain yang lebih kecil. Saya yakin mereka tidak diam, tapi harus diakui menurut saya ketegasan mereka harus diperkuat lagi, mereka itu kan legitimate, punya dasar legitimasi yang kuat sekali dari pada kelompok-kelompok sempalan ini. Makin lama makin ada tendensi makin menguasai panggung utama perwacanaan Islam, dan ini harus diimbangi oleh kelompok Islam yang lebih besar.

Anda melihat ada motif politik dibalik ketidaktegasan pemerintah

Wah, saya tidak tahu. Saya kan tidak bisa menduga-duga, lebih baik kita bicara dari segi hukum negara saja, kalau itu kan nanti kita akan terjebak pada ide-ide konspirasional yang tiada habisnya. ***