Monday, July 28, 2008

Relasi Paradoksal Islam-Pancasila

Dalam konstelasi sejarah politik Indonesia, islam dan pancasila memiliki hubungan yang paradoksal. Di satu sisi, pancasila dianggap sesuai dan mengakomodasi nilai-nilai islam. Tapi di sisi lain, pancasila juga dianggap bertentangan dengan nilai-nilai syariat.

Pada tanggal 1 Juni 1945, di depan sidang Dokuritzu Zunbi Cosakai (BPUPKI), Soekarno melontarkan gagasan tentang pentingnya melahirkan sebuah falsafah kebangsaan. Kebangsaan dalam konteks pemikiran Soekarno adalah semangat masyarakat yang dilandasi oleh kelima dasar yang kemudian disebut oleh Soekarno sebagai Pancasila. Kebangsaan Indonesia atau nasionalisme, Perikemanusiaan atau internasionalisme, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan Social dan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah poin-poin pemikiran yang ditawarkan Soekarno muda dihadapan sidang. Sebelum Soekarno bersaksi di hadapan sidang BPUPKI tentang perlunya pembentukan ideologi kebangsaan, Mohamad Yamin juga pernah melakukan hal yang sama. Kepada rekan-rekannya sesame founding fathers dia pernah menawarkan konsep ideologi kebangsaan yang disebutnya sebagai Lima Dasar pada tanggal 29 Mei 1945. Selain Yamin, Soepomo pun pada tanggal 31 Mei 1945 menawarkan hal yang sama, hal yang dia namakan dengan Panca Dharma.
Gagasan Soekarno tentang perlunya pembentukan ideologi dalam kehidupan berbangsa mendapat perhatian serius dari para founding fathers lainnya. Maka segera setelah itu dibentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Agus alim, Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Ahmad Subardjo, Mohammad Yamin. Tugas panitia ini adalah merumuskan kembali konsep kebangsaan yang pertama kali dilontarkan oleh Soekarno.
Perdebatan demi perdebatan mereka lalui. Segala konsep ideologi dipertentangkan untuk mencari dasar apa yang sesuai dengan jiwa masyarakat Indonesia (zeitsgeist). Akhirnya pada tanggal 22 juni 1945, Panitia Sembilan ini menghasilkan rumusan yang kemudian oleh M. Yamin disebut sebagai Piagam Jakarta. Dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) termaktub lima dasar yang menjadi landasan kehidupan berbangsa. Sebenarnya, tidak ada perbedaan antara lima dasar yang dikonsepkan oleh Panitia Sembilan dengan apa yang dipikirkan oleh Soekarno. Dengan kata lain, Piagam Jakarta merupakan bentuk pengejawantahan nilai-nilai pikiran Soekarno. Tapi dalam piagam ini ada penambahan tujuh kata yaitu Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya—sebuah frase yang akhirnya menjadi perdebatan panjang di antara founding fathers.
Sukarno berhasil merumuskan Indonesia (yang plural itu) dalam prinsip kebangsaan yang mengatasi kepentingan primordial. Sukarno muda yang begitu kaya pemikiran dan pengalaman dalam pergerakan Indonesia merdeka sejak semula sudah bergulat dengan masalah prinsipil eksistensi Indonesia merdeka. Tahun 1926, Sukarno sudah menggumuli heteroginitas pemikiran politik "Indonesia" dan mengajukan pemikiran agar kaum Nasionalis, Marxis, dan Agama (Islam) bekerjasama dan bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sintesa (atau sinkritisisasi) kekuatan-kekuatan dalam bangsa ini seharusnya menjadi basis bagi eksistensi bangsa Indonesia, demikian gagasan Sukarno. Jika hanya satu kekuatan (primordial atau ideologi) tertentu yang diadopsi sebagai basis, maka Indonesia menjadi tidak utuh.
Pancasila adalah kristalisasi pemikiran Sukarno mengenai konsep kebangsaan Indonesia. Selain itu pancasila juga jawaban terhadap kebutuhan bangsa Indonesia sebbagai sebuah bangsa baru dengan latar belakang yang sangat plural. Makanya dalam sidang BPUPKI, Sukarno memprovokasi peserta sidang dengan pertanyaan apa dasar negara atau disebutnya sebagai philosofische grondslag.
Penambahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta merupakan bentuk wujud partisifasi politik umat Islam terhadap ideology pancasila. kalangan Islam politik waktu itu merasa, umat islam memiliki kontribusi yang besar dalam pembentukan negara dan bangsa. Maka, mereka memandang perlu adanya peneguhan dalam konstitusi negara.
Reaksi atas penambahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, mendapat reaksi keras dari masyarakat Indonesia bagian timur. Mereka memandang, hal itu sebagai bentuk diskriminasi politik yang tidak lajim. Malahan, menurut Asvi Warman Adam, kelompok ini pun akan mengancam memisahkan diri dari wilayah Indonesia apabila ketujuh kata itu tidak dihapuskan. Adalah A.A Maramis,--seorang tokoh politik Indonesia Timur dari kalangan Kristen—menghubungi Bung Hatta agar meninjau kembali penambahan tujuh frase tersebut. A.A. Maramis mewakili kelompok Indonesia Timur berharap kepada Hatta agar membujuk kelompok islam politik meralat ketujuh frase tersebut.
Kepada Hatta, Maramis berkisah bahwa Indonesia tidak didirikan oleh satu kelompok, satu ras, satu kekuatan politik dan satu agama. Indonesia, yang sekarang berdiri adalah bangsa yang dihasilkan dari proses sinergis antar berbagai golongan. Sebagai seorang negawaran, Hatta sangat memahami argumentasi yang diutarakan Maramis. Selain karena Indonesia merupakan bangsa yang plural, baik secara budaya, politik dan sosial, kalangan Kristen pun memiliki kontribusi dalam pembentukan bangsa. Hatta pun berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan dan Kasman Singodimejo untuk menghapus ketujuh kata tersebut. Atas saran Ki Bagus Hadikusumo, ketujuh frase tersebut diganti dengan frase Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka setelah itu, para founding fathers bersepakat untuk menghapus ketujuh frasa yang dirasa memberatkan bagi kelompok lain. Dan sejak saat itu founding fathers yang berbeda aliran politik, agama, rasa bersepakat untuk menerima pancasila sebagai konsensus bersama.
Walau pun pancasila sudah diterima sebagai konsensus bersama dalam kehidupan berbangsa, namun pada kenyataannya masih ada gerakan yang mencoba mempertentangkan kembali antara pancasila dengan ideologi lainnya. Ini dapat dilihat pada waktu pemilu 1955. Pada saat itu ada pertentangan terjadi antara kubu islam yang terakomodasi lewat partai-partai berlabel islam seperti Masyumi dengan kubu sekuler yang terwadahi dalam partai-partai seperti PNI, Partai Indonesia Raya. Pertentangan ini berjalan sangat alot sampai berakhirnya masa pemerintahan Orde Lama.
Belajar dari pengalaman Orde Lama yang banyak berkutat pada pertentangan ideologis, Soeharto sebagai penarik gerbong Orde Baru tak mau pengalaman politik ini terulang kembali. Maka segera ia pun memberlakukan deideiologisasi--pancasila dijadikan sebagai satu-satunya asas bagi kekuatan organisasi sosial-politik. Dengan kata lain, Soeharto menghendaki pancasila sebagai asas tunggal. Selain itu, sistem kepartaian yang gemuk mengalami penyederhanaan dengan hanya memperbolehkan tiga partai yaitu Golkar, PPP dan PDI.
Walaupun Soeharto sudah melakukan pemberlakukan asas tunggal (astung) terhadap partai politik ormas-ormas, da segala sektor kehidupann berbangsa dan bernegara, tetapi pada kenyataannya tidak meleburkan kekuatan islam politik, kekuatan nasionalis, dan kekuatan lainnya menjadi satu kata. Mereka yang tidak menerima pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara memilih menjelma dalam bentuk-bentuk yang pada waktu itu tidak terdeteksi oleh negara. Dalam pengajian-pengajian terbatas, gerakan mahasiswa islam radikal, atau pun dalam rapat-rapat politik mereka menyetakan bahwa islam harus menjadi dasar ideologi bangsa yang baru merdeka ini. Sehingga keadaan ini membuat stagnan politik bangsa Indonesia.
Melatakan Sakralisasi
Salah seorang intelektual muda yang prihatin dengan kondisi ini adalah Nurcholish Madjid. Baginya perdebatan bangsa ini soal ideologi yang akan digunakan sebagai dasar negara apakah islam ataukah pancasila adalah sesuatu yang berlarut. Perdebatan tentang itu seharusnya sudah tuntas ketika para founding fathers menyusun agenda kebangsaan.
Untuk memecahkan stagnansi politik kebangsaan, pada waktu itu Nurcholish Madhid—seorang tokoh yang diidentikan dengan Natsir—pada tahun 1970-an menawarkan konsep perlunya sekularisme politik dengan rumusan, Islam Yes, Partai Islam No. Cak Nur—demikian penarik gerbong ini dipanggil, menghendaki umat Islam sebagai kelompok mayoritas di Indonesia mampu membedakan mana yang saral dan mana pula yang profan. Dengan kata lain, Nurcholish Madjid menghendaki masyarakat Indonesia mampu melihat yang duniawi sebagai sesuatu yang profan dan mengukhrowikan yang memang bernilai suci seperti agama.
Akan tetapi, seruannya itu banyak ditolak oleh orang islam sendiri yang menyamakan sekularisme politik dengan sekularisme total. Kemudian di tahun 1980-an KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga mengemukakan perlunya sekularisme politik sebagai gerakan kultural. Tetapi, rupanya gagasannya itu tidak mendapat tanggapan secara luas. Mungkin karena dia sendiri tidak konsisten dengan gerakan kulturalnya dan bermain juga di tingkat struktur, atau karena seruannya sudah menjadi bagian dari ideologi NU sejak dia menjadi Ketua Umum PBNU-setidaknya begitulah klaim Gus Dur. Kemudian tahun 1995 keluar gagasan "high politics" dari Amien Rais, dengan maksud bahwa keterlibatan politik suatu agama (Islam) itu tidak sepatutnya pada politik praktis sehari-hari.
Pertentangan politik antara kubu nasionalis dengan kubu islam tidak pernah surut dalam kontelasi politik bangsa. Menurut Kuntowijoyo, hal ini diakibatkan karena sejarah yang kita miliki adalah sejarah yang terputus (disrupted history). Kalau saja sejarah kita tidak terputus mungkin sekarang pertentangan antara sekularisme politik dan Islam itu sudah menemukan solusi politik dan ideologinya. Pertentangan antar dua kekuatan ini kembali mengemuka pada pemilu 1999 dan 2004. Partai-partai yang berlandaskan nasionalisme harus bertarung untuk merebut konstituen dengan partai-partai yang menjual islam sebagai dasar ideologinya. Malahan dalam pemilu 1999, wacana tentang tujuh frasa yang hilang kembali mengemuka. Kalangan islam politik merasa perlu kembali meninjau realitas politik tersebut. Alhasil perjalanan politik bangsa kita masih terus berkutat pada pertentangan tentang ideologi apa yang sesuai dengan falsafah bangsa ini. Sejarah politik kita adalah sejarah treadmill, sejarah yang seakan-akan berlari kencang namun tidak pernah kemana-mana—tetap berlari di tempat.
Common Denominator
Lantas sampai kapan perdebatan mengenai ideologi bangsa ini akan berakhir? Dan sampai kapan relasi paradoksal antara pancasila-Islam tidak secara terus menerus akan disulut. Asvi Warman Adam, memberi solusi yang cukup artikulatif. Menurut sejarawan yang banyak membongkar mitos-mitos sejarah kontemporer Indonesia, seperti sejarah G 30/S PKI, pancasila tidak akan dipertentangkan lagi kalau ada sosialisasi yang tepat, yang intensif yang dilakukan kembali dalam masyarakat Indonesia. Tentang makna pancasila, kegunaan pancasila dan penjabaran pancasila untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan itu perlu dilakukan lebih efektif, tepat dengan demikian tidak akan ada lagi pertentangan di masa yang akan datang karena sudah ada kesepahaman tentang itu. “Kalau pancasila itu disalahmengerti terus ya akan selalu di pertentangkan. Saya juga melihat bahwa krisis yang berkepanjangan itu akan selalu membuat orang untuk lari kepada ideologi yang lebih ekstrim, yang menolak ideologi lain” katanya kepada Baitul Muslimin ketika ditemui di sela-sela kesibukannya.
Lebih jauh Asvi Warman Adam juga melihat ada sesuatu yang salah dalam sosialisasi pancasila kepada masyarakat selama ini. Penataran-penataran yang banyak dilakukan oleh pemerintah selama ini dinilai banyak memanipulasi penafsiran pancasila untuk kepentingan kekuasaan. “Menurut hemat saya perlu adanya penataran-penataran yang tidak salah kaprah. Kalau dulu pada masa Orde Baru ada penataran-penataran pancasila yang salah kaprah, karena pancasila itu direduksi menjadi 20 butir atau sekian butir yang cocok dengan pancasila. Itu yang menyebabkan pancasila menjadi sangat terkungkung, sangat terbatas. Menurut hemat saya, diskusi atau dialog itu harus kembali kepada penjabaranan dari sila-sila yang ada. Dan itu kalau diajarkan secara benar dan tepat mulai dari SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi, saya kira pertentangan atau dikotomi itu tidak perlu lagi muncul” paparnya.
Solusi yang ditawarkan oleh sejarawan Indonesia ini, agaknya penting untuk dilakukan kembali guna menemukan komitmen kebangsaan. Lebih penting dari itu adalah tiadanya sikap saling mengkonfrontir antara Islam dengan pancasila. Pancasila sebagai ideologi bangsa sebetulnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, juga pancasila bukanlah Islam itu sendiri. Pancasila adalah common denominator (titik temu) bagi berbagai pemikiran. Tidak satu pun dari kelima silanya bertentangan dengan Islam. Bahkan dapat dikatakan bahwa pancasila adalah obyektivikasi dari Islam. Agama-agama lain sudah pasti menemukan dirinya dalam rumusan pancasila. Aliran-aliran lain, seperti Marhaenisme, Sosialisme, Liberalisme, dan Verzorgingsstaat (Welfare State, Negara Jaminan Sosial) tertampung di dalamnya.
Titik persamaan (kalimah sawa) antara Islam dengan pancasila terdapat dalam sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketika Soekarno berpidato pada tanggal 1 Juni 1945, memberikan urutan pertamanya adalah untuk kebangsaan dan nasionalisme. Tapi kemudian Soekarno, mendapatkan masukan dari founding fathers yang lainnya sehingga rumusan pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa itu diletakan pada sila pertama. Bagi Asvi Warman Adam, hal ini merupakan bentuk penghargaan yang besar bagi kalangan islam politik. Selain itu, sila pertama ini menjadi dasar bagi tujuan-tujuan setelahnya seperti kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “Saya memandang bahwa tidak ada sila dalam pancasila yang bertentangan dengan ajaran agama Islam”. Asvi juga menilai bahwa pancasila juga dianggap masih relevan karena di dalamnya terkandung juga tujuan yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, selama itu belum dicapai maka pancasila masih dianggap relevan.
Sebagai ideologi terbuka, pancasila membuka diri pada ide-ide yang dikembangkan oleh berbagai ideologi. Kehadiran ide-ide itu justru menyuburkannya. Ia cukup punya rambu-rambu untuk tidak terjebak dalam salah satu ideologi. Sejarah pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus. Di masa Orde lama keterbukaan itu menyebabkan diterimanya komunisme yang ateis, dan di masa Orde baru diterimanya otoritarianisme yang mengingkari kedaulatan rakyat. Untuk menghindari kemungkinan keterjebakan itu, sila-sila dalam pancasila harus dibaca sebagai kata kerja aktif.
Menurut Asvi sampai saat ini, pancasila masih relevan untuk dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi Asvi pun memberikan beberapa catatan: Pertama, itu dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa. Tapi kemudian ini juga jangan dijadikan ideologi yang reaktif, yang pasif melainkan menjadi ideologi yang dinamis. Dinamis, misalkan kalau kita kaitkan dengan konsep keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia itu harus kita wujudkan. Selain itu, hendaknya diskusi-diskusi mengenai pancasila seharusnya memberikan aplikasi atau penjabaran mengenai sila-sila itu lebih mengena dalam mengatasi permasalahan yang tengah dihadapi bangsa ini.***

No comments: