Monday, October 12, 2009

सुर्वेई Telepolling


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Rabu, 30 September 2009
Diskusi: Oposisi Tidak Menguntungkan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Partai politik di Indonesia cenderung untuk merapat pada kekuasaan. Parpol masih menganggap bahwa peran sebagai oposisi tidak menghasilkan apa-apa. Oposisi bisa dilembagakan dengan memberikan pendanaan pada partai sehingga partai tidak perlu untuk merapat pada kekuasaan.

Pernyataan tersebut menjadi benang merah dalam diskusi publik Harapan masyarakat terhadap parlemen dan kabinet. Diskusi yang diselenggarakan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) tersebut dilangsungkan di Hotel Grande, Selasa (29-9). Diskusi dihadiri pengurus partai politik, KPU Kota Bandar Lampung, dan aktivis LSM.

Peneliti ISAI Leli Qomarulaeli mengatakan peran oposisi yang dilakukan oleh PDI Perjuangan selama lima tahun lalu ternyata tidak membawa simpati yang cukup dari masyarakat. Hal tersebut yang membuat PDIP dan partai lain berpikir kembali untuk beroposisi.

Leli menilik oposisi yang dilakukan PDIP masih terlalu malu-malu. Partai yang dipimpin Megawati tersebut hanya mengkritik kebijakan yang diambil pemerintah tanpa memberikan solusi tandingan. Sementara itu, menurut Leli, Partai Golkar tidak memiliki tradisi menjadi partai oposisi. Golkar lebih banyak berperan sebagai partai pemerintah. Golkar seakan-akan tidak memeliki kepercayaan untuk menjadi oposisi. "Padahal apa susahnya menjadi oposisi," ujarnya.

Dalam survei yang dilakuakn ISAI pada 17--24 September lalu. Mayoritas responden menginginkan agar Partai Golkar dan PDIP untuk menjadi oposisi. Dari 1.300 responden, sebanyak 41 persen responden menginginkan Golkar berperan sebagai oposisi.

Sebanyak 33 persen responden yang menginginkan agar Golkar masuk dalam pemerintahan. Sebanyak 61 persen responden menginginkan agar PDIP menjadi oposisi, dan hanya 18 persen yang menginginkan agar PDIP masuk pemerintahan.

Sementara itu, responden yang pada pemilu lalu memilih Golkar dan PDIP juga menginginkan agar dua partai tersebut manjadi opisisi. Sebanyak 55 persen pemilih PDIP menginginkan agar partai berlambang banteng ini menjadi oposisi. Dan, 54 persen pemilih Golkar menginginkan agar partai ini menjadi oposisi.

Menurut Leli, dalam sistem ketatanegaraan RI belum dikenal konsep oposisi. Meskipun terdengar berlebihan, usulan agar dibuat UU oposisi menjadi hal yang penting. n MG2/K-2

Sunday, November 16, 2008

Wawancara


“Ini Soal Selera Interpretasi”


Fundamentalisme agama menjadi bahaya laten, yang setiap saat akan muncul di masyarakat. Fundamentalisme sendiri merupakan paham politik yang dianut suatu kelompok yang menjadikan agama sebagai basis ideologi dalam mengkonsepsikan kehidupan bermasyarakat. Banyak faktor yang memicu kemunculan gerakan fundamentalisme ini, salah satunya adalah soal adanya pemahaman keagamaan dan ketidakpuasan sosial ekonomi. Menurut Hamid Basyaib, agama menjadi kendaraan yang efektif untuk menyalurkan sikap ketidakpuasaan tersebut. “Orang-orang seperti Sayyid Quthub, itu hendak meringkus agama menjadi sekedar ideologi begitu juga dengan Maududi” ucap Direktur Eksekutif Strategic Political Intelligence (SPIN) dan Deputi Direktur Freedom Institute. Untuk mengeksplorasi lebih jauh pandangan intelektual Islam ini, saya berdiskusi panjang dengan aktifis Islam Liberal ini di kantornya di daerah Pancoran. Berikut petikannya :

Kekuatan Islam fundamental di Indonesia selama ini seperti bahaya laten, bagaimana menurut anda apa yang menyebabkannya?

Saya kira itu merupakan gabungan dari berbagai faktor, dan itu klasik lah. Dan salah satu faktor yang menyebabkannya adalah adanya pemahaman atau selera interpretasi. Dalam semua agama sudah diakui bahwa banyak sisi. Orang yang kemudian yang disebut fundamental itu kemudian mengambil bentuk interpretasi tertentu saja, dan mengabaikan interpretasi orang lain.

Dan ini sebenarnya merupakan debat yang panjang sekali, dan saya sampai sekarang tidak tahu harus bagaimana menangani isu ini. Karena dari satu segi harus diakui bahwa semua penasiran itu jadinya sah, hingga akhirnya semua itu terserah bagaimana seleranya dan mungkin mereka sukanya bagian-bagian perang saja, yang mengandung unsur kekerasan. Tapi intinya adalah adanya semangat untruk memahami atau memaknai ajaran agama dalam bentuk yang mereka persepsikan sebagai ajaran agama yang murni, mereka langsung rujukannya ke jaman Nabi, dan menurut saya ini yang harus dipertanyakan.

Sebenarnya ajaran yang murni itu yang bagaimana? Nggak ada yang tahu, atau memang gak ada itu yang namanya ajaran murni. Jadi sejak awal agama itu kan terbuka dengan semua kemungkinan interpretasi, sehingga dapat dikatakan bahwa bentuk yang dipraktekan oleh generasi Nabi atau generasi awal umat pertama yang membangun di Madinah, itu sebenarnya bukan merupakan satu-satunya bentuk. Di sini saya katakan bahwa itu merupakan salah satu bentuk saja, karena bentuk atau model penghayatan dan pengamalan Islam pada waktu itu pasti terkait dengan situasi historis. Situasi tingkat perkembangan ekonomi, sosial, intelektual di suatu jaman, di suatu tempat. Ini kan semuanya disesuaikan dengan lanskap sosial, politik dan ekonomi yang terjadi di masyakarat. Jadi itu bukan satu-satunya bentuk. Nah, itulah sebabnya ketika Islam berkembang di berbagai tempat, dengan lanskap yang berbeda pula maka Islam itu bisa diamalkan dengan cara yang berbeda pula, dan itu sama-sama sah.

Anda bayangkan, dalam Islam itu kan tidak ada beduk, karena beduk itu merupakan budaya Cina. Tapi di Jawa dan berbagai daerah lainnya itu kan merupakan salah satu tradisi slam. Atau tasbih yang sebenarnya itu merupakan tradisi biksu Budha. Tapi kenapa umat Islam menyerapnya sebagai bentuk pemahaman keagamaan mereka. Sebenarnya kan tradisi saling pengaruh mempengaruhi dalam pemahaman keagamaan merupakan hal yang biasa, atau malah dianggap sebagai sesuatu yang diperlukan.

Tadi anda mengatakan bahwa keragaman pemahaman agama itu sebagai sesuatu yang sah, berarti pemahaman yang selama ini dikembangkan kelompok fundamental itu juga sah?

Iya. Masalahnya adalah derajat keotentikannya, mana yang lebih otentik. Contohnya dalam pembacaan sebuah teks, ambil saja tema utamanya adalah tentang kemakmuran ekonominya, lalu ada frase-frasenya. Ada yang mengatakan bahwa situasi sekarang ini di warnai oleh kondisi kemiskinan yang akut misalnya, pertanyaannya apakah kalau orang-orang mengambil frase-frase itu lalu itulah yang dijadikan fokus utama. Apakah itu sah atau tidak? Bukankah tema utama dalam teks itu bicara tentang kemakmuran ekonomi? Bahwa teksnya yang bicara tentang kemiskinan itu ada dalam tubuh lengkap teksnya, memang iya. Tapi pertanyaannya, apakah itu sah kalau kemudian itu diambil dan kemudian didalami seolah-olah bahwa teks tadi itu bicara tentang kemiskinan yang meraja lela. Menurut saya ini tidak sah, karena secara garis besar teks itu kan sedang bicara kemakmuran ekonomi.

Saya kira itu yang terjadi dengan model-model interpretasi yang macam-macam seperti sekarang ini, orang-orang itu tidak tahu konteks besarnya dalam sebuah wacana. Mereka itu hanya mengambil penggalannya saja dan kemudian dianggap benar. Saya kira ini juga terjadi dalam kitab suci, oleh sebab itu para pembaharu (keagamaan-red) terus menerus mengajak orang untuk memahami isu pokok. Fazrul Rahman misalnya dalam buku The Mayor Themes of the Qur'an, itu merupakan upaya pokok dia untuk mengajak masyarakat untuk memahami apa sebenarnya isi pokok al quran itu. Yang lain-lain itu memang ada dalam alquran, tapi bukan yang utama. Tidak bisa kita berfokus pada yang pinggiran itu, karena inilah yang utamanya. Misalnya pesan pokok alquran itu adalah keadilan, sementara yang lain-lain itu hanya penunjang saja. Soal ibadah dan tata caranya misalkan itu kan soal pinggiran yang gak penting. Menurut saya di sini masalahnya adalah mungkin karena keterbatasan, atau motif-motif lain dari para pemimpinnya yang mengajak pengikiutnya itu untuk terlalu peduli atau berokus pada hal-hal yang pinggiran yang bukan fokus utama agama.

Nah, tantangan bagi para pembaharu adalah bagaimana menarik secara terus menerus masyarakat terhadap isu-isu pokok dan bukan suntuk pada isu pinggiran. Kalau energi dan perhatian umat difokuskan pada hal-hal yang pinggiran, maka bahaya terbesarnya adalah mereka abai dengan isu pokoknya. Dan itu biayanya sangat besar sekali, biaya kultural dan biaya-biaya yang lainnya. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah kenapa sekarang ini banyak orang yang meleset dari isu-isu pokok itu, ini yang menurut saya yang harus disikapi. kenapa ide-ide pokok itu begitu sulitnya ditangkap, kenapa itu hanya ditangkap oleh orang-orang yang sedikit seperti Fazrul Rahman dan Nurcholish Madjid. Yang lainnya kok suntuk pada isu-isu pinggiran, mereka itu jumlahnya ratusan juta orang. Saya bicara dalam konteks global, bukan hanya Indonesia saja karena memang inilah yang sedang terjadi di dunia Islam.

Tapi apakah dapat disamakan kemunculan kelompok fundamental di Indonesia dengan wilayah-wilayah lainnya?

Kurang lebih sama, tadi saya bicara baru satu faktor. selain faktor pemahaman, faktor lainnya adalah adanya ketidakpuasan sosial ekonomi. Ini sebenarnya risetnya sudah lama sekali sampai ada teori sosiologi yang mengatakan bahwa semuanya itu memiliki korelasi positif dengan kemiskinan. Memang belakangan setelah tragedi World Trade Centre (WTC) 9/11, teori ini mendapat bantahan keras karena pelaku-pelaku pengeboman itu rata-rata orang kaya, sekolahnya juga tinggi. Tapi saya kira itu merupakan exception, merupakan perkecualian. Saya masih percaya pada teori sosiologi yang lama yaitu bahwa secara umum masih terkait. Kita lihat secara profil demografi atau psikologi para pengikut kelompok-kelompok fundamentalis, mereka kan umumnya bukan dari kalangan kelas menengah atau atas, pendidikannya kurang. bahkan ada gejala juga bahwa yang ikut gerakan mereka itu kan pendidikannya umum. Coba kita lihat pesantren kan satu dua aja seperti Amrozi, pesantren itu kan umumnya tidak radikal. Di perkotaan misalnya, yang ikut gerakan radikal itu kan bukan anak UIN (UniversitasNegeri Islam), dia malah anak UI, anak ITB, UGM dan biasanya fakultasnya juga berhubungan dengan ilmu alam seperti MIPA, Kedokteran dan Teknik.

Untuk melawan gejala ketidakadilan sosial ini kemudian agama dijadikan sebagai kendaraan nyang efektif untuk menyalurkan sikap ketidakpuasaan itu, dan menjadikan agama sebagai ideologi. Orang-orang seperti Sayid Quthub, itu hendak meringkus agama menjadi sekedar ideologi begitu juga dengan Maududi. Saya kira mereka itu merupakan bapaknya radikalisme modern abad 20, karena memang radikalisme itu kan gejala baru muncul abad 20. Kalau dulu kan yang ribut dalam Islam biasanya antar faksi, antar sekte seperti Syiah-Suni, Mu'tazilah, NU-Muhamadiyah. tetapi gerakan radikalisme Islam modern yang menyusun agneda-agenda politik, mensistematisasi ketidakpuasan dengan sebuah gerakan yang tersistematis dan kemudian mengaitkannya pula dengan ajaran-ajaran agama, ini terjadi pada abad 20 dengan kemunculan Ikhawnul Muslimin. Dengan itu pula saya hendak mengatakan bahwa sebetulnya sebagian besar model wacana perlawanan yang berdasarkan agama di Indonesia, sebenarnya merupakan duplikasi langsung dari Timur Tengah. Cuman para pembaca di Indonesia ketika sedang membaca buku-buku karangan orang Timur Tengah seolah-olah itu universal, padahal kan nggak. Mereka (orang-orang Timur Tengah-red) kan sedang bicara tentang negeri masing-masing atau paling nggak wilayah atau kawasan Timur Tengah.

Orang seperti Sayyid Quthub itu kan tidak puas kalau kearaban, atau keislaman itu tergusur. Dan memang ekspose mereka terhadap kekuatan-kekuatan asing, barat itu kan sangat besar sekali hingga saat ini. Kita sebetulnya tidak mengalami ekspose setinggi mereka, maka secara teoritis sebenarnya kan kita tidak perlu seradikal mereka. Tapi karena bahan-bahan bacaannya yang masuk ke sini adalah terjemaahan-terjemaahan dari karya mereka, maka itulah yang terjadi.

Anda juga catat sekali lagi, bahwa banyak anak-anak kita dari NU atau Muhamadiyah terutama yang sekolah ke Kairo dengan jumlah yang banyak sekali. Ketika mereka pulang ke Indonesia, apakah mereka membawa radikalisme? Tidak kan. Kenapa ? Karena mereka mempelajari Islam secara lebih lengkap, atau malah liberal sebagian, mereka juga mempelajari agama Yahudi, kristen dan makin mengerti bahwa hal-hal yang kita anggap unik dalam agama kita sendiri ternyata sebenarnya juga nggak. sebelumnya juga sudah ada dalam agama yahudi, dalam lingkungan sosial Timur Tengah, bahkan sebelum adanya agama Yahudi kan sudah ada praktik-praktik yang kita anggap unik ini.

Ada pandangan bahwa menguatnya kelompok fundamental merupakan anitesis terhadap maraknya ide-ide liberalisme

Saya kira justru yang terjadi adalah sebaliknya. Kelompok-kelompok liberal itu pada awal kemunculannya sebagai reaksi atas maraknya gerakan fundamental. Tapi memang perlu dicatat pada titik tertentu kemudian gak jelas lagi, siapa yang memulai. Saya ingin mencatat bahwa sikap kelompok-kelompok fundamental itu makin beringas ketika melihat ide-ide liberal yang dianggap akan merusak keutuhan Islam, itu bisa kita mengerti. Tapi sejarah kelahirannya, justru terbalik hanya kan generasi-generasi sesudahnya kan tidak tahu sehingga seakan-akan mereka itu merupakan kekuatan yang sedang mereaksi gerakan liberal. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya, dari dulu kan yang menggejala itu kan konservatisme.

Pandangan yang menyudutkan bahwa gerakan liberalisme itu dapat dukungan dari Amerika

Wah, itu kan sudah lama sekali idenya dan sama sekali tidak benar. Gerakan kita kan mau memodernisasi, kalau agendanya cocok dengan Amerika juga tidak apa-apa, sebagaimana kelompok mereka yang menerima bantuan dari Timur Tengah. Masalahnya, kenapa kalau ada bantuan dari Arab Saudi itu bagus dan tidak jadi masalah sementara kalau dari negeri lain kok bermasalah. Kenapa? Kalau kita mau bicara tentang nasionalisme ya sama saja, Arab dan negara-negara lain kan juga asing. Kita kan berdaulat masing-masing, negeri masing-masing. Apakah Indonesia diperhitungkan penting oleh negara-negara Timur Tengah? Menurut saya tidak juga. Mereka itu sombong, malah mereka melihat kita dengan nada setengah menghina. Jangankan kita, yang non-arab dalam konteks keagamaan bagi mereka tidak paham tentang Islam. Pandangan itu umum, makanya saya sedih, ironis melihat mereka yang menyanjung-nyanjung mereka (Arab). Lha mereka saja melecehkan kita, mereka itu menganggap bahwa yang mengerti Islam itu hanya mereka, kan sudah jelas bahasanya Arab, nabinya orang Arab. Jadi orang luar Arab itu gak bakalan ngerti, kalau pun ngerti ya sedikit aja. Pandangan seperti itu tidak terhadap kita saja, terhadap orang-orang persia pun sama. mereka dianggap tidak faham Islam, makanya menurut mereka yang ditekuni oleh orang-orang Persia itu syiah beda dengan mereka yang sunni.

Kelompok fundamental sering melakukan tindak melawan hukum dalam setiap aksinya yang terkadang membuat risau masyarakat lainnya, tapi tak ada kelompok lain yang bertindak begitu juga dengan negara

Itu yang justru sangat kita sesalkan, mestinya pemerintah itu harus lebih tegas lagi. Tapi kalau dibilang bahwa pemerintah itu tidak tegas juga tidak sepenuhnya benar, misalnya yang terjadi sekarang ini kan mereka (kelompok fundamental) diproses secara hukum. Saya melihat pemerintah itu bersikap sangat hati-hati terhadap kelompok fundamental, ini sangat berbahaya karena kelompok-kelompok fundamentalis itu menempatkan diri sebagai representasi yang paling sah dari Islam. Ini yang tidak betul, dan semestinya pemerintah juga sadar bahwa kelompok ini kan salah satu kelompok saja dan belum tentu besar. Walaupun kelompok fundamental itu juga kan punya hak hidup, tapi kan sama saja haknya dengan kelompok-kelompok lain seperti kelompok pecinta anggrek, kelompok musik sama saja dalam konteks negara. Kenapa mesti diistimewakan? Dalam Islam juga kan macam-macam, ada tariqat, sufi. Kalau mereka kelompok fundamental mau menegakan syariat ya silahkan saja, asal tidak melanggar hukum. Mestinya pemerintah itu punya pandangan yang clear, yang jernih dalam soal pengelompokan sosial dalam sebuah negara. Sepanjang mereka tidak melanggar hukum, silahkan hidup tapi begitu mereka melanggar hukum ya n harus ditindak sesuai hukum. Masalahnya pemerintah itu kan terlalu takut dengan menganggap isu ini sangat sensitif. Mungkin sensitif, tetapi kan seharusnya upaya-upaya penjernihan persoalan harus segera dilakukan.

Di sini juga pentingnya peran-peran dari kelompok lainnya seperti NU dan Muhamadiyah, mereka juga harus terus menerus menyuarakan bahwa representasi Islam itu bukan mereka, bukan kelompok-kelompok itu. Kalau mau dianggap paling mewakili kan sebenarnya kedua kelompok ini, karena mereka itu kan dua kelompok terbesar. Saya berharap mereka menyuarakannya lebih lantang dari sekarang ini, sebab mereka itu kan memiliki pengikut yang besar sekali dan memiliki garis pandangan yang moderat.

Tapi kenapa kedua kelompok yang tadi anda sebutkan kan tidak bereaksi keras terhadap hal ini

Itu yang kita harapkan, sebetulnya dua pilar umat islam indonesia itu yang seluruhannya bisa mencakup 100 juta jiwa islam di Indonesia, mesti jelas lagi menyuarakan sikap moderasi mereka dalam menangkal radikalisme kelompok lain yang lebih kecil. Saya yakin mereka tidak diam, tapi harus diakui menurut saya ketegasan mereka harus diperkuat lagi, mereka itu kan legitimate, punya dasar legitimasi yang kuat sekali dari pada kelompok-kelompok sempalan ini. Makin lama makin ada tendensi makin menguasai panggung utama perwacanaan Islam, dan ini harus diimbangi oleh kelompok Islam yang lebih besar.

Anda melihat ada motif politik dibalik ketidaktegasan pemerintah

Wah, saya tidak tahu. Saya kan tidak bisa menduga-duga, lebih baik kita bicara dari segi hukum negara saja, kalau itu kan nanti kita akan terjebak pada ide-ide konspirasional yang tiada habisnya. ***

Wednesday, October 22, 2008

Tinjauan Film


Mongol

Citra Baru Seorang Gengish Khan

Judul Film : Mongol Pemain : Tadanobu Asano, Sun Honglei, Khulan Chuluun, Odnyam Odsuren Sutradara : Sergei Bodrov Produser : Sergei Selyanov, Anton Melnik Penulis : Alif Aliyev dan Sergei Bodrov Genre : Epik Historis

Durasi : 120 menit

Apa yang terbayangkan ketika mendengar nama seorang Gengish Khan? Bengis, imprealis, suka membunuh, merampok, dan banyak deretan sifat buruk lainnya yang bisa digunakan untuk melukis dan mengekplorasi pribadi penguasa daratan Mongolia ini. Bila bayangan anda tentang Gengish Khan seperti ini, berarti tepatlah apa yang dilukiskan dalam sebuah buku yang berjudul The Legend of the Black Arrow karangan sejarawan Lev Gumilev.

Gumilev menggambarkan Gengish Khan persis dengan karakter buruk di atas. Malahan Gumilev menggambarkan Genghis Khan sebagai sosok yang lebih buruk dari semua itu. Melihat gambaran yang kurang obyektif tentang sosok Gengish Khan, mendorong sutradara Rusia Sergei Bodrov terinspirasi untuk membuat film tentang Gengish Khan. Selain karena alasan bisnis, tentu Bodrov pun memiliki alasan idealis untuk memberikan gambaran lengkap mengenai Gengish Khan.

Lantas bagaimana naskah cerita yang ditulis oleh Alif Aliyev dan Sergei Bodrov untuk mengjungkirbalikan stereotip Gengish Khan? Begini ceritanya. Cerita bermula ketika Gengish Khan kecil yang bernama Temudgin (Odnyam Odsuren) berusia 9 tahun, yang dalam tradisi masyarakat Mongol harus sudah menentukan calon istrinya.

Nama Temudgin diambil ayahnya untuk menamakan anaknya, ada cerita tersendiri. Konon nama itu diberikan kepada Gengish Khan kecil ketika ayahnya baru saja membunuh seorang kepala Suku Tartar bernama Temujin. Sang ayah kemudian mengabadikan nama orang itu sebagai nama anak laki-lakinya, baginya itu merupakan perlambang atas kebanggaan karena sudah membunuh seorang kepala suku.

Temudgin dibawa ayahnya untuk memilih salah seorang gadis dari golongan Merkit, tujuannya satu: ayahnya hendak mengadakan ”rekonsiliasi” dengan suku yang dahulu pemimpinnya ia bunuh. Sayang, Temudgin tak patuh pada keinginan ayahnya. Ia menolak keinginan ayahnya untuk dijodohkan, dan dengan tegas ia menetapkan pilihannya kepada seorang gadis yang bernama Borte--anak teman ayahnya. Bagi Temudgin, Borte tak hanya cantik tapi juga memiliki kharisma khas yang dapat memikat hati setiap kaum lelaki. Pilihan Temudgin kepada seorang gadis yang bernama Borte pada awalnya tidak disetujui oleh sang ayah. Karena dirinya telah berjanji untuk menjodohkan Temudgin dengan gadis Merkit, guna memperbaiki hubungan suku yang dipimpinnya karena dendam masa lalu.

Dalam perjalanan, rombongan mereka berhenti di sebuah perkampungan. Di sinilah Temudgin bertemu dengan Borte yang kemudian menjadi istrinya. Keinginan Temudgin ini membuat marah Ensugei. Namun akhirnya Ensugei mengabulkan permintaan Temudgin. Maka perjodohan pun dilangsungkan. Kedua keluarga berjanji akan bertemu 5 tahun.

Dari sinilah mulai bermunculan musuh-musuh yang menginginkan kematian Temudgin. Terutama Targutai (Amadu Mamadakov), penghkianat yang merampas seluruh harta yang dimiliki Temudgin, setelah ayahnya meninggal. Secara adat, posisi ayahnya yang sudah mati harus digantikan oleh Temudgin. Tapi sayang, aturan ini tak berjalan lancar. Sejumlah pihak berambisi untuk mendapatkan posisi Khan ini. Dan salah satu caranya adalah dengan membunuh atau menyingkirkan Temudgin, yang merupakan pewaris langsung. Salah seorang yang amat berambisi untuk mendapatkan gelar Khan ini adalah Targutai. Perebutan tahta untuk menjadi seorang Khan, membuat Targutai harus membunuh Temudgin. Berkali-kali Temudgin harus melarikan diri dari kejaran Targutai. Dan diselamatkan oleh Jamukha, yang kemudian menjadi saudara angkatnya.

Menginjak dewasa, Temudgin (Tadanobu Asano) yang berhasil melarikan diri dari pasungan Targutai, berniat untuk mempersunting gadis pilihannya, Borte. Borte adalah wanita yang sangat setia dan mencintai Temudgin sejak pandangan pertama. Berbagai usaha dilakukannya untuk menyelamatkan nyawa sang suami. Bahkan Borte lebih memilih mengorbankan dirinya ketika salah seorang dari suku Merkit ingin menuntaskan dendam lama dengan ayah Temudgin, dengan menculik Borte.

Untuk menghindari ancaman maut, akhirnya Temudgin terpaksa berkelana seorang diri di gurun yang luas. Dalam masa-masa inilah Temudgin dibentuk oleh kerasnya alam dan kehidupan di gurun yang ganas. Temudgin tumbuh menjadi laki-laki yang kuat dan akhirnya sanggup memimpin tentaranya untuk menguasai hampir seluruh benua Asia bahkan sampai ke Rusia. Pertemuannya kembali dengan Borte yang kemudian istrinya menempatkan wanita ini pada posisi sebagai pendamping sekaligus penasehat pribadi Temudgin.

Inilah awal dari sutradara asal Rusia Sergei Bodrov mulai mempertontonkan aksi perang Temudgin yang menegangkan. Mulai dari merebut kembali Borte dari suku Merkit dengan meminta bantuan Jamukha, hingga melawan saudaranya sendiri Jamukha. Latar yang dipilih Bodrov untuk memvisualisasikan tempat kejayaan Temudgin dalam menaklukkan musuh-musuhnya di tanah kelahiran Genghis Khan, Mongol, mampu menciptakan suasana yang membuat film ini benar-benar berada di masa-masa perjuangan dan kejayaan Temudgin.

Gurun sahara, hamparan rumput hijau, dan lautan salju membuat film produksi tiga negara -Kazakhstan, Rusia, Jerman- ini sungguh memukau. Alur cerita yang dipilih Bodrov dengan tidak menjelaskan secara detil pada beberapa cerita, membuat penonton harus menentukan sendiri bagian cerita yang menggantung.

Meskipun begitu, film ini wajib ditonton. Selain bisa untuk mengenal sejarah dan kebudayaan Mongol, juga karena film mendapat nominasi film asing terbaik pada ajang Academy Awards 2008 walau pun pada akhirnya gagal.***

Wednesday, September 24, 2008

Telaah Pustaka




Jilbab dan Politik Standar Ganda

Oleh L. Qomarulaeli


Judul Buku : Politics of The Veil

Penulis : Joan Wallach Scott

Penerbit : The Princenton University Press

Sebagai negara yang paling sekuler di dunia, Perancis pernah dikhawatirkan oleh gerakan jilbabisasi warganya. Konsep negara yang terbuka dan teori kesejahteraan yang diterapkannya, mengundang warga pendatang lainnya untuk merantau di negara mode dunia ini. Dan pendatang dari wilayah Afrika dan Timur Tengah menjadi kedua wilayah yang menyumbangkan imigran terbesar.

Masyarakat muslim di negara ini berkembang signifikan. Lembaga sensus pemerintah setempat misalnya mencatat pertumbuhan warga muslim di Perancis mengalami peningkatan dari tahun-ke tahun. Tentu bagi sebuah politik negara yang menganut prinsip sekuler ini merupakan sesuatu yang perlu diwaspadai.

Pada waktu itu segala bentuk kegiatan keagamaan—sebenarnya bukan hanya islam yang ditekankan—diawasi dan dibatasi oleh pemerintah. Dan salah satu kebijakan yang paling banyak menuai kontroversi adalah kebijakan pelarangan penggunaan jilbab di lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga pendidikan. Sontak saja, umat bukan hanya umat Islam yang melakukan unjuk rasa terhadap kebijakan ini. Atas nama solidaritas dan ukhuwah islamiyyah umat Islam di berbagai belahan dunia lainnya pun mengecam kebijakan ini. Adakah yang salah dengan kebijakan pelarangan jilbab ini?

Pelarangan jilbab sebenarnya sudah dimulai sejak pemerintahan Presiden Francois Mitterand. Pada masa pemerintahannya, beberapa siswi Muslimah dikeluarkan karena berjilbab. Setelah muncul protes, termasuk beberapa demonstrasi di Indonesia, Counseil dEtat (Dewan Negara) memutuskan menoleransi pemakaian jilbab, asal tidak dipaksakan. Dulu dan kini, argumentasi Perancis masih sama. Bahwa jilbab, kerudung dan jenggot dianggap simbol agama (symbole religieux), bisa menimbulkan aksi kekerasan, membahayakan kehidupan rakyat dan negara yang berdasar sekulerisme. Bahkan, ada alasan tak masuk akal bahwa berkerudung dan berjilbab menghalangi telinga siswa sehingga sulit menyerap pelajaran Fisika dan Ilmu Bumi.

Lewat sebua karya cerdas, penulis asal Amerika Serikat Joan Wallach Scott dalam bukunya The Politics of the Veil berhasil memberikan gambaran tentang hal ini. Joan Wallach Scot mempertanyakan kenapa mesti jilbab yang harus menyita perhatian pemerintah, apa Perancis sudah tidak memiliki masalah fundamental dan lebih penting dari itu? “Why the headscarf?”

Scott juga mempertanyakan para pendukung pelarangan ini, yang berargumen bahwa pengaturan ini dilakukan demi kesetaraan gender, demi tegaknya sekularisme (Prancis dalam hal ini) atau bahkan demi terpeliharanya Keperancisan yang khas. Joan Wallach Scot merupakan penulis yang memiliki kepustakaan tentang Perancis terlengkap di Amerika Serikat, dan melakukan studi puluhan tentang negara ini. Lewat bukunya ini Scot juga ingin mengungkapkan bagaimana proses politik seharusnya mengakui dan menegosiasikan perbedaan, bahkan yang tampaknya sedemikian tak mungkinnya sekalipun. Hal inilah yang dibutuhkan oleh politik demokrasi sekarang, di Prancis dan di mana pun.

Tentu kasus pelarangan jilbab di Perancis, bukanlah kebijakan tidak asal buat. Seperti ditulis Joan Wallach Scot, kebijakan ini didorong oleh sejumlah kekhawatiran oleh maraknya semangat keagamaan di Perancis—sesuatu yang menjadi lawan terkuat dari sekularisme.

Kasus pelarangan jilbab di Perancis sebenarnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap jiwa yang membangun negara tersebut. Walau pun Perancis pernah mendeklarasikan diri sebagai negara tersekuler di dunia, tapi bukan kah negerinya Zinedine Zidan ini juga merupakan negara demokrasi? Dan bukankah,--seperti juga kata Scot-- esensi demokrasi harus mampu menegoisasikan perbedaan-perbedaan warganya. Lebih dari itu kita juga harus siap dengan konsekuensi demokrasi yang juga harus mengakomodasi perbedaan.

Mengenai ideologi sekular yang dianut oleh Perancis, bukankah sekulerisme sendiri menghendaki negara netral terhadap kehidupan warga negaranya? Kegiatan-kegiatan seperti penggunaan jilbab di mana pun, shalat, hijab, jenggot, makanan halal, biarawati bertutup kepala, negara tidak memiliki hak untuk melarangnya, begitu juga sebaliknya tidak punya hak untuk memerintah. Adanya kebijakan pelarangan jilbab sebenarnya merupakan gambaran bahwa negara telah mencampuri kehidupan pribadi warga, padahal dalam teorinya itu ditentang oleh sekulerisme.

Dengan kata lain soal jilbab sebenarnya bukan menjadi soal pribadi tetapi sudah menjadi persoalan hak. Dengan munculnya keinginan pemerintah Perancis pada waktu itu untuk mengatur dan membatasi penggunaan simbol-simbol agama, termasuk jilbab, dalam ruang publik seperti sekolah dan perguruan tinggi, jilbab pun beralih menjadi wacana politik. Karena jilbab mau diatur dan bahkan dilarang oleh hukum dan kekuasaan, maka orang yang mengenakannya tidak lagi didasarkan atas argumen agama, tapi argumen politik.

Lantas di mana letak semboyan “liberte, egalite, fraternite” dalam kerangka sekulerisme Perancis. Seperti yang digambarkan Joan Wallach Scott dengan bukunya The Politics of the Veil berhasil mengggambarkan ada politik standar ganda dalam kebijakan pelarangan jilbab ini. Karya ini merupakan karya penting dalam mengkaji pandangan masyarakat Eropa (Perancis) terhadap Islam, terlebih paska peristiwa 11 September.***

Topik Kita


Prof. Dr. Syafi’i Anwar

“Kita Miskin Negarawan”

Setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa, umat Islam merayakan hari kemenangan. Salah satu tradisi yang kerap dirayakan adalah halal bil halal, tradisi ini merupakan khas muslim Indonesia yang tidak ditemukan di wilayah lain. Tetapi apa makna dan nilai yang terkandung dalam perayaan halal bil halal tersebut, dan apa pula kaitannya dengan nilai-nilai wawasan kebangsaan. Untuk menggali hal-hal tersebut L. Qomarulaeli dan fotografer Ridwan Rale, mewawancarai Prof. Dr. Syafi’i Anwar di rumahnya di kawasan Ciputat Tangerang. Berikut perbincangannya :

Makna apa yang bisa kita petik dari proses halal bil halal

Saya kira kita harus mengulangnya dari awal. Halal bil halal itu merupakan tradisi yang khas yang berkembang di Indonesia, di tempat lain saya tidak menemukan hal yang sama. Tradisi ini sudah sekian lama berkembang sehingga sampai sekarang menjadi kegiatan yang rutin kita adakan, dan itu merupakan hal positif yang bisa kita petik dari proses halal bil halal ini.

Bagaimana pun hal ini tidak bisa dilepaskan dari merayakan hari kemenangan. Dan konteksnya, lebaran itu kan bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi kultur atau apresiasi terhadap apa yang berkembang di Indonesia. Dan itu mencerminkan corak keislaman Indonesia yang berbeda dengan islam-islam yang ada di negara Timur Tengah.

Tetapi yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa lebaran itu tidak bisa dipisahkan maknanya dari rangkaian kegiatan atau ritus umat Islam itu sendiri untuk merayakan hari kemenangan. Dan itu mereka rayakan setelah sebulan penuh berpuasa, maka mereka layak merayakan kemenangannya. Di sini juga umat Islam harus melihat konteksnya bahwa hal itu dilakukan dalam rangka memberi makna lebih terhadap apa yang sudah mereka lakukan.

Dengan demikian yang harus diingat adalah, bahwa di hari suci itu sebagai seorang muslim harus tetap merefleksikan diri sebagai seorang yang telah mengalami masa perjuangan, terutama setelah bulan puasa dengan menahan tidak makan dan minum dan berhubungan seks dengan istrinya.

Oleh karena itu dalam melaksanakan halal bil halal itu juga dia harus dalam koridor keislamannya, dia harus tampil sebagai seorang muslim yang betul-betul mencerminkan sikap dan perilaku yang benar-benar muslim yang telah mengalami penempaan dan ujian dari Allah. Oleh sebab itu dalam lebaran seharusnya kita tidak boleh berfoya-foya, tidak boleh lepas kendali.

Halal bil halal itu berarti merupakan local wisdom

Ya, dan sepanjang yang saya ketahui ini tidak ditemukan di tempat-tempat lain selain di Indonesia.

Apa ada sejarah dibalik penamaan halal bil halal ini

Saya tidak tahu sejarah asal muasalnya. Mungkin ini ada kaitannya dengan kalau kita habis berpuasa itu kan selalu mengucapkan mohon maaf lahir dan bathin, taqabalallohu minna waminkum. What is name? Apalah arti sebuah nama, karena memang sampai sekarang belum ada penelitian yang mengupas sejarah halal bil halal ini.

Esensi dari kegiatan halal bil halal itu adalah adanya proses saling maaf memaafkan, dalam segi ini bisa gak kita samakan dengan rekonsiliasi?

Saya kira bisa saja, selama dalam konteks kemanusiaan. Manusia itu kan no body is perfect. Oleh karena itu dalam halal bil halal kita dituntut tidak saja untuk meminta maaf tapi juga memaafkan kesalahan sesama. Ini kan tradisi yang sangat baik sekali. Dengan memberi maaf, itu kan tuntutan ajaran Islam agar kita tidak dendam dan radikal. Dengan demikian secara sadar kita memahami bahwa Islam itu ramah, a friendly religion, agama yang betul-betul selalu mengupayakan pada kedamaian. Damai di hati, damai di bumi. Itu adalah esensi halal bil halal.

Perlu gak besok sebelum pemilu kita adakan kegiatan halal bil halal ini untuk membentuk sebuah platform kebangsaan?

Ya boleh saja, tetapi jangan terus dengan rekonsiliasi lantas kita melupakan kesalahan orang lain dalam aspek tertentu, misalnya aspek hukum. Seorang pejabat negara atau apa pun itu yang melakukan korupsi harus diproses secara hukum, walau pun kita sudah memaafkannya. Dosa itu kan ada macam-macamnya, ada dosa pribadi, dosa antarsesama dan dosa sosial. Dosa pribadi mungkin kita harus memaafkannya, tetapi sebagai dosa sosial misalnya dia melakukan korupsi itu harus diproses secara hukum.

Dalam kasus Bom Bali misalnya, secara pribadi mungkin kita sudah memaafkannya. Tetapi proses hukuman sebagai konsekuensi tindakannya harus jalan terus. Karena mereka sudah membuat banyak orang menderita.

Tetapi tempo hari dalam kasus Soeharto pernah terlontar wacana untuk membekukan proses hukumnya karena didasarkan atas nama kemanusiaan?

Dalam kasus itu saya tidak setuju. Dalam konteks kemanusiaan mungkin sudah kita maafkan, tapi kan dia harus bertanggung jawab secara sosial. Tindakan-tindakan dia yang melanggar hukum dan konstitusi harus diproses secara hukum, walau pun sebagai manusia kita sudah memaafkannya karena memang dia sudah melakukan banyak kerugian bagi masyarakat banyak.

Jangan karena motif tertentu, kita lantas melakukan kapitalisasi rekonsiliasi hanya semata-mata kita kasihan, empati dengan dia. Harus ada gentlemen agreement.

Dengan kata lain rekonsiliasi atau halal bil halal tetap menafikan aspek hukum dong?

Ya, memang seperti itu. Kita tahu pak Harto itu banyak jasanya kepada bangsa ini seperti banyak membangun masjid, memberikan beasiswa pendidikan, memperbolehkan adanya Bank Muamalat. Tetapi jangan karena hal-hal itu, lantas kita juga melupakan aspek hukum dari tindakan-tindakan yang sudah dilakukannya yang banyak melanggar hak asasi manusia seperti kasus Tanjung Priok atau pun kasus Talang Sari.

Walau pun itu dibuat oleh anak buahnya, tetapi sebagai pimpinan tertinggi bangsa ini kan dia harus bertanggung jawab. Ini juga belum bicara soal kerakusan dari anak-anak pak Harto, gak bisa kita melupakan proses hukumnya. Hukum harus jalan terus, keadilan harus ditegakan walau langit akan runtuh.

Berarti penting dong rekonsiliasi besok itu?

Saya kira tidak begitu. Yang lebih penting dari itu semua adalah mengembangkan sikap kenegarawanan, etika kenegarawanan. Etika kenegarawanan itu jauh lebih penting dibanding dengan rekonsiliasi nasional, karena itu kan sifatnya semu.

Tetapi kalau mau diadakan juga tidak apa-apa, saya rasa lebih tepat dikatakan sebagai dialog nasional antar para tokoh elit. Dialog nasional juga harus diarahkan pada koridor tetap melestarikan cita-cita atau komitmen untuk menjaga negara kesatuan atau NKRI. Komitmen yang tinggi terhadap Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa yang telah menjadikan kita semua melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara melalui platform atau istilah Cak Nur, kalimatun sawa dalam kehidupan berbangsa.

Poin lainnya yang lebih penting adalah, dalam mengadakan dialog nasional para elit-elit kita harus memiliki komitmen untuk memperbaiki Indonesia yang sekarang sedang terpuruk. Paska reformasi, bangsa ini banyak melahirkan politisi tetapi miskin negarawan. Dan ini yang sedang terjadi. Di DPR banyak korupsi, pejabat sekarang ini kalau mau jabatannya naik harus main sogok seperti yang sekarang ramai di masyarakat.

Dalam pepatah ada perbedaan antara politisi dengan negarawan. Kalau politisi itu kan a politician a think about the next position. A statesman think about the next generation. Polutisi itu hanya berfikir tentang jabatannya saja, tetapi seorang negarawan berfikir bagaimana meningkatkan kualitas generasi berikutnya. Seorang negarawan itu tidak populis, tidak berfikir untuk kepentingannya sendiri.

Apa ada model politisi atau pejabat yang tidak mau populis?

Ya kita lihat nanti, sejarah yang akan membuktikannya. Saya cukup sedih, ternyata setelah reformasi yang seharusnya banyak melahirkan tokoh-tokoh dan pemikir yang negarawan. Tapi kan ternyata berbanding terbalik. Saya ingin mengutip pendapatnya Bung Hatta di ujung demokrasi kita, “..suatu masa besar dilahirkan oleh abad, tetapi abad itu hanya melahirkan manusia kerdil”. Suatu masa besar itu reformasi setelah pak Harto jatuh, sejarah ingin membuktikan bahwa reformasi akan melahirkan tokoh-tokoh besar. Tetapi alih-alih melahirkan tokoh besar, yang ada malah politisi-politisi kerdil. Itu ucapannya Bung Hatta, dan terjadi sekarang ini.

Menurut anda sekarang ini bangsa kita tidak memiliki satu pun negarawan?

Ya ada, tapi hanya sedikit. Contoh yang sedikit itu diantaranya adalah Buya Syafi’i (Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif-red) yang kemarin baru dapat Ramon Magsaysay Award. Beliau ini sangat konsisten, dan karyanya pun nyata. Beliau adalah tipe orang yang tidak mau populis, saya salut dengan perjuangannya. Selain Buya Syafi’i, kalau masih hidup, adalah Cak Nur. Sekarang ini yang banyak adalah masih dalam tataran politisi, bukan negarawan.

Orang-orang seperti SBY, Jusuf Kalla, Wiranto dan Megawati bukan tipikal negarawan?

Mungkin dalam diri mereka masih sedikit muncul sosok-sosok negarawan, belum sepenuhnya berjiwa negarawan. Ibu Megawati contohnya, saya kira punya sikap kenegarawanan, Gus Dur juga punya, atau Amien Rais. Hanya tingkatannya saja.

Parameter seorang tokoh memiliki sifat kenegarawanan itu apa?

Menurut saya para founding fathers itu adalah negarawan. Bung Karno itu adalah contoh terbaik seorang negarawan, Bung Karno itu orang besar. Bung Hatta juga orang besar, Natsir atau Sam Ratulangi juga orang-orang besar. Mereka semua adalah tokoh-tokoh besar yang memiliki sifat kenegarawanan sejak masih muda. Natsir misalnya, waktu jadi menteri itu bajunya cuma satu. Jadi beliau ini sangat sederhana sekali.Prof. George MT. Kahin mendengar cerita dari anak buah Natsir di Departemen Penerangan, bahwa anak buahnya itu iuran untuk membelikan baju baru buat Natsir. Jadi keteladanan seperti itu yang perlu dicontoh.

Ir Sukarno itu orang besar dan seorang negarawan. Tanpa Soekarno, bangsa ini tidak akan pernah merdeka. Dia juga merupakan inspirator bagi bangsa ini. Pancasila itu adalah karya intelektual Sukarno yang memikirkan nasib bangsa ke depan. Nah, seorang negarawan itu par excellent.

Tokoh-tokoh seperti ini sekarang sangat jarang. Politisi sekarang ini lebih banyak berorientasi pada ”moneyisme”, uang yang bicara. Dan sekarang ini kita sedang mengalami krisi kenegarawanan.

Memilih presiden saja, kita tidak tahu. Kan seharusnya calon presiden yang akan dipilih nanti itu harus dilihat dari track recordnya. Apakah ada jasanya bagi bangsa ini, apa ada karya-karya dia yang kongkrit bagi masyarakat. Tetapi sekarang ini posisi-posisi tersebut bisa didapat dengan mudah hanya dengan mengiklankan di televisi, track recordnya tidak dilihat. Dan sayangya generasi muda sekarang ini juga malah ikut-ikutan. Mereka tidak memiliki sensivitas.

Dalam hal ini siapa yang salah, masyarakat atau politisinya?

Dua-duanya. Politisi salah karena mereka ini kalau dalam istilah Prof. Koentjaraningrat, memiliki mentalitas menerabas, mereka ingin mendapatkan segalanya dengan instan. Selain itu juga masyarakat kita menerima kenyataan ini.

Tapi iklan juga kan penting untuk meningkatkan popularitas di masyarakat?

Boleh saja, hanya kan substansi iklannya itu seperti apa. Menurut saya…….. terpotong

Lebih baik yang diiklankan itu adalah mereka yang jelas-jelas sudah memiliki karya yang bermanfaat bagi masyarakat. Dan yang lebih penting lagi adalah, dalam iklan itu diangkat martabat orang-orang kecil dengan karya nyata. Jangan hanya merekayasa saja. Seorang pemimpin itu akan ditempa melalui perjalanannya, melalui kehidupan dan interaksi sosialnya dengan masyarakat. Lebih dari itu juga seorang pemimpin, dinilai dari aspek penampilan integritasnya. Dia akan diuji dan rakyat kita juga akan mengujinya.

Lalu tadi yang berkaitan dengan social ekonomi, rakyat akan terus berbicara dan merasakan, seperti sekarang ini pada masa pemerintahan SBY. Apakah rakyat akan terus memilihnya atau tidak, mereka sudah tahu karena memang sudah kritis. Dari hasil survey saja kita kan bisa lihat grafik SBY sekarang ini sedang menurun. Itu merupakan buah hasil dari kerjanya sendiri.

Salah satu hal yang sekarang ini masih bisa dirasakan adalah belum terpecahkannya, dan menurut saya ini akan mengancam eksistensi NKRI. Ini masalah yang berkaitan dengan eksistensi kebebasan beragam. Ini kan sangat mendasar sekali. Kebebasan beragama itu embedded, hak yang melekat dalam hak asasi manusia.

Coba lihat sekarang ini pada masa SBY, susah sekali kita bisa berbeda pendapat. Juga hal-hal yang berkaitan dengan respeksifitas dalam berhubungan dengan orang lain yang berbeda keyakinan. Ini berbeda sekali dengan pemerintahan sebelumnya, yang relative lebih maju.

Di Jawa Barat misalnya, sekarang ini malah muncul gerakan anti pemurtadan yang melakukan pressure dan ancaman terhadap orang-orang yang berbeda agama dan memaksa menutup tempat ibadah mereka. Kemudian kasus yang terakhir adalah Ahmadiyah, sehingga peristiwa 1 Juni 2008 terjadi. Saya merupakan salah satu korbannya, kepala saya kena pukul waktu itu.

Semangat toleransi sekarang ini semakin renggang, tiadanya rasa untuk berbagi dengan sesame. Karena berbeda pendapat, lantas mereka dikriminalisasi. Itu semua menunjukan bahwa sebenarnya kita ini merupakan bangsa yang rawan terhadap kenyataan-kenyataan seperti ini. Dan celakanya lagi, sampai sekarang posisi hukum orang Ahmadiyah itu tidak jelas dalam negara ini.

Ahmadiyah datang ke Indonesia pada tahun 1920, jauh sebelum bangsa ini merdeka. Bung Karno sendiri sebagai founding fathers tidak setuju dengan Ahmadiyah, tetapi dia mengundang Ahmadiyah untuk berdialog. Itu jiwa yang besar sekali. Tokoh-tokoh dulu itu, kalau pun di antara mereka terdapat perbedaan pendapat tetapi tidak sampai membuat mereka terpecah.

Natsir itu tokoh Masyumi, dia berdebat keras dengan Aidit dari PKI di persidangan konstituante. Habis berdebat mereka minum kopi bersama dan bercanda. Orang jaman dulu itu luar biasa sekali.

Sekarang bagaimana? Beda pendapat saja dilarang, langsung disebut murtad, kafir dan mau diusir.

Anda menilai pemerintahan SBY tidak memiliki ketegasan dalam politik kebebasan beragama?

Ya. Pertama, yang harus dilihat sekarang ini adalah adanya pressure atau tekanan-tekanan dari kelompok garis keras. Dan ini lebih diperparah oleh MUI (Majlis Ulama Indonesia-red) yang berusaha terus menerus untuk memperkuat diri sendiri dan terus mengintervensi pemerintah. Sementara pemerintah kita sendiri tidak memiliki ketegasan, bukan saja dalam peraturannya bahkan di lapangan juga tidak tegas.

Aparat keamanan kita ini malah membiarkan masjid-masjid Ahmadiyah dihancurkan, bahkan di Manis Lor itu dibiarkan hancur. Aparat keamanan itu kan seharusnya bersikap netral, tidak memihak dan tetap melaksanakan komitmennya dalam penegakan hukum.

Hukum harus ditegakan, tidak semata-mata membiarkan kejadian itu terus menerus terjadi. MUI juga malah mengeluarkan fatwa. Masyarakat kan tidak tahu kalau fatwa itu, Fatwa is legally logingin but not is legally binding. Fatwa itu pendapat hukum, tapi tidak mengikat secara hukum.

Kita bisa menerima atau menolak fatwa.

Dulu MUI mengeluarkan fatwa bahwa perempuan tidak bisa jadi presiden, bagaimana itu? Kan memang kenyataannya tidak bisa. Saya masih ingat betul peristiwa ini, dari mana dalilnya mereka mengatakan seperti itu. Semuanya kembali ke MUI sendiri. Dan perlu diingat bahwa MUI itu dibentuk pada masa Soeharto pada tahun 1975, fungsi sebetulnya adalah menjadi bridging antara pemerintah dengan masyarakat.

Sekarang ini MUI bermain politik lewat produk fatwa, dan lewat tindakan orang-orang tertentu yang mendominasi kepengurusan di lembaga tersebut. MUI itu dikuasai oleh kelompok konservatif, dan sudah keluar dari fungsi awalnya .

Saya sendiri tidak setuju dengan teologi Ahmadiyah, terutama Ahmadiyah Qadiyan. Tapi saya terbiasa berdiskusi dengan mereka, mereka juga punya hak hidup. Mereka kan berbadan hukum sejak 1953. Saya tidak membela Ahmadiyah sebagai sebuah ideologis atau pun teologis, yang saya bela adalah hak-hak warga negara. Kenapa mereka dikriminalisasi? Kenapa mereka diperlakukan seperti itu?

Mungkin karena banyaknya kepentingan di negara kita?

Ya. Dan kita tidak tahu mana kepentingan yang benar, dan mana kepentingan sesaat. Saya setuju dengan sikap politik Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) terkait dengan kasus kebebasan beragama, mereka punya sikap yang tegas. Juga hadir waktu di Mega Centre, memang harusnya seperti itu.

Kita ini kan hidup di negara kesatuan, dan jangan sekali-kali berfikir untuk mendirikan Negara Islam. Republik kita terkoyak-koyak karena gagasan negara Islam. Para Founding fatrhers kita saja tetap setia pada pancasila, pancasila itu sebagai modal bangsa kita. Tidak ada sila-sila dalam pancasila yang bertentangan dengan Islam. Dan yang lebih penting lagi adalah nasionalisme kita adalah nasionalisme yang didasarkan pada pandangan atau tujuan bahwa kita sebagai bangsa ini memiliki identitas, punya kebanggaan.

Nasionalisme kita bukan nasionalisme cangkokan dari barat, tetapi nasionalisme yang khas Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Soekarno sendiri.

Kembali ke tema pembicaraan kira. Perlukan diadakan pertemuan yang bertajuk halal bil halal atau pun rekonsiliasi nasional yang menghadirkan elit-elit kita?

Perlu, tetapi substansinya lebih dititikberatkan pada usaha-usaha untuk berfikir secara kongkrit, berfikir kerakyatan dan peduli pada nasib wong cilik. Tapi persoalannya apa elit-elit kita itu mau dipertemukan? Kalau mau fair, mereka itu harusnya bicara dari hati ke hati. Perbedaan pendapat itukan sesuatu yang biasa, dan dalam Islam itu merupakan rahmat. Jangan karena alas an berbeda pendapat lantas menimbulkan antipati. Kritik ibu Megawati terhadap SBY soal lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap wong cilik jangan dianggap sensitive. Begitu juga sebaliknya. Kalau kritik itu membangun, kita harus menerimanya dengan lapang dada.***

Monday, September 1, 2008

Mencintai Alam Lewat Pelajaran


Kepedulian Lewat Green Kurikulum


Membuat perubahan tak semuanya harus dimulai dari hal-hal besar. Sesuatu yang pada awalnya tak dianggap ternyata bisa membawa manfaat besar bila dilakukan dengan kesungguhan. Seperti apa yang dilakukan oleh Teti Suryati di lingkungan tempat tinggalnya.

Bermula dari keprihatinannya terhadap lingkungan tempat di mana dia tinggal, Teti Suryati terdorong untuk mengajak dan mengajarkan kepada warganya bagaimana cara mencintai lingkungan. “Tempat tinggal saya sangat kumis mas” kata Teti mengawali perbincangannya dengan Baitul Muslimin. Kumis yang dimaksud Teti, bukanlah kumis yang banyak dimiliki kaum Adam melainkan kumuh dan miskin. “Bayangkan saja, hampir 40% tempat tinggal di tempat saya adalah kost-kostan. Jadi wajar saja, kalau mereka kurang peka karena kan pendatang dan waktu tinggalnya pun gak pasti” ujarnya lebih jauh.

Kondisi tempat tinggal yang kumuh dan miskin inilah justru yang membuat Teti Suryati berfikir lebih kreatif dalam melestarikan lingkungannya. Keengganan warga pada waktu itu dijawab Teti dengan ajakan-ajakan kepada warga untuk mulai menanam. “Penghuni kost-kostan saja kami wajibkan untuk menanam dan merawatnya,”

Kepedulian Teti Suryati dalam menjaga lingkungan tempat tinggalnya membuat dia terkenal di kalangan masyarakat luas. Ia sering diundang ke berbagai daerah di Tanah Air oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) guna berbagi ilmu membuat kompos. Teti membuktikan setinggi apa pun pengetahuan yang dimiliki tidak akan berguna tanpa dipraktikkan.

Kampanye Berbuah Hasil

Semuanya bermula dari sesuatu yang tidak diharapkan. Kondisi lingkungan tempat tinggal yang kumuh dan sempit menginspirasi dia untuk mengajak warga mengubahnya menjadi lingkungan yang bersih dan hijau. Ia minta setiap rumah menanam dua pohon. Selain itu, setiap pukul 16.00, mereka juga diwajibkan membersihkan halaman masing-masing. Bagi warga yang tak bersedia, ada denda menyediakan dua pohon di depan rumah.

Komitmen Teti Suryati terhadap lingkungan pada awalnya tidak berbanding lurus dengan respon masyarakat tempat dia tinggal. Maka tidak mengherankan bila langkah-lagkah yang dilakukan Teti sering kali mendapat cibiran. ”Setiap kali saya ceramah soal pengolahan sampah rumah tangga, warga malah bertanya ngapain susah-susah ngurus sampah?’ Mereka merasa sudah membayar retribusi kebersihan, jadi enggak perlu pusing mikirin sampah,” cerita Teti.

Tanggapan kurang bersahabat pun tak berhenti sampai di situ. Ketika Teti mencoba untuk mengajak warga untuk belajar membuat kompos sebagai media tanam. “Banyak warga yang menanggapi buat apa beli kompos? Mending beli saja, kan harganya cuman Rp. 1.000 per kilogram. Lagian kita juga kan gak repot,”.

Tetapi sikap apatis dan kurang mendukung dari warga tempat tinggalnya tak menyurutkan semangatnya untuk berbagi dan mengubah paradigma berpikir masyarakat soal bagaimana menjaga lingkungannya. Berbagai sikap apatis dan keluhan itu justru diterimanya dengan sikap positif, dan dengan ide kreatif pun Teti lantas menciptakan komposter untuk mengurangi sampah di rumah.

Kegiatan ini pada akhirnya membiasakan warga di kampung Bulak untuk terbiasa memilah sampah di rumah. Sampah organik warga itu dikumpulkan di enam posko, sedangkan sampah nonorganik, seperti kertas, plastik, dan kayu, dijual atau dibuat kerajinan tangan. Petugas kebersihan hanya mengangkut sampah yang sama sekali tak bisa didaur ulang. ”Menumbuhkan kesadaran warga untuk memisahkan sampah tidaklah semudah membalikan tangan” kata instruktur pendidikan lingkungan hidup bagi guru-guru program Western Java Environment Management Project (WJEMP) 2003. Bayangkan saja, untuk sampah dapur saja misalnya, Teti Suryati menghitung hampir 1,5 kilogram sampah dihasilkan dari tiap rumah. Dan ini belum dikalkulasi dengan sampah-sampah lainnya seperti sampah pasar, jalanan, pusat perbelanjaan dan industri.

Komposter buatan yang didesain Teti berbahan kaleng bekas cat berukuran 25 kilogram, yang diberi alat pemutar pada bagian samping atau tutup kaleng. Alat pemutar ini sekaligus berfungsi untuk memilah sampah berdasarkan jenisnya, ada sampah anorganik dan sampah organik. Tak hanya sampai di situ, untuk mengikuti trend dan selera masyarakat pun Teti berusaha mengembangkan 13 tipe komposter dengan bahan baku kaleng dengan alat pemutar. Tahun lalu, dia mengembangkan komposter gantung yang dibuat dari tempayan air, untuk mengajari warga membuat kompos cair. Untuk model terakhir ini malah bisa digantung dan cocok untuk tipe rumah tak berhalaman.

Kegiatan warga tempat di mana Teti tinggal dalam memisahkan sampah berdasarkan jenisnya membuat lingkungan yang tadinya kumis—kumuh dan miskin—menjadi bersih dan asri. Maka tak mengherankan berbagai penghargaan pun banyak di raih. Selama tahun 2004-2006 misalnya, RW 15 selalu menjadi juara ketiga RW bersih dan sehat tingkat Provinsi DKI Jakarta. Dan pada tahun 2007, RW 15 menjadi juara nasional RW Bersih yang diselenggarakan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Green Kurikulum

Langkah Teti untuk mengenalkan pengolahan lingkungan tak terhenti sampai di lingkungan tempat tinggalnya. SMA 12 Jakarta, tempat dia bekerja pun menjadi sasaran berikutnya. Lewat penerapan kurikulum berbasis lingkungan, dia mulai menggagas pelajaran lingkungan hidup sebagai muatan lokalnya.

Dalam sistem pendidikan sekarang ini, Direktorat Pendidikan Menengah Tinggi (Dikmenti) Depdiknas memang memberikan keleluasaan bagi semua sekolah untuk mengajarkan kearifan lokal (local wisdom) sebagai muatan lokal (mulok). Di tempat kerjanya Teti ditunjuk sebagai koordinator untuk membuat silabus dan sistem kompetensi muatan lokal ini. Dalam satu minggu, Teti dan teman-temannya punya waktu dua jam untuk mengkampanyekan lingkungan lewat pelajaran di sekolah.

Di laboratorium, anak-anak didiknya diberi mata pelajaran dan keahlian khusus mengenai pembuatan kompos. Bukan hanya sebatas teori, praktik pembuatan kompos juga dilakukan. Maka tidak heran, lingkungan SMAN 12 Jaktim menjadi hijau dan asri. Coba saja keliling di sekitar sekolah ini banyak terdapat tanaman yang terawat bersih dan hijau. Ini juga didukung dengan adanya sebuah taman di tengah-tengah sekolah yang menambah asri dan teduh suasana sehingga bisa mendukung suasana belajar mengajar.

“Anak-anak didik, saya kasih materi yang ada hubungannya dengan lingkungan, cara pengolahan sampah, dan hemat energi” ujarnya. Langkah Teti bersama guru-guru lainnya menerapkan kurikulum berbasis lingkungan membuahkan hasil. Tak lama berselang setelah penerapan kurikulum model unik ini, SMA 12 tempatnya mengajar terpilih sebagai sekolah berwawasan lingkungan tingkat nasional oleh sebuah lembaga nirlaba internasional yang concern dalam upaya pelestarian lingkungan hidup.

“Walau pun meraih juara kedua, tapi ini merupakan prestasi yang membanggakan bagi kami” tambah perempuan yang menjadi Kader Lingkungan Hidup Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2006. Dalam kompetisi tersebut, siwa-siswa SMA 12 diajak Teti untuk mengolah sampah plastik yang selama ini menjadi masalah besar bagi kota-kota padat seperti Jakarta untuk dijadikan aksesoris. Hasilnya lumayan bagus, berbagai pernik seperti lampu hias yang terbuat dari botol minuman softdrink, tempat sampah dari botol minuman mineral, tas plastik dari bungkus detergen, dan berbagai aksesoris lainnya.

“Tapi untuk sementara aksesoris ini tidak diproduksi untuk kegiatan komersil. Mungkin nanti akan kita arahkan lebih jauh ke sana” ungkap istri Heriyanto yang juga terpilih menjadi Kader Lingkungan Jakarta Green and Clean 2006 oleh sebuah perusahaan lewat program corporate social responsibility (CSR).

Langkah Teti yang gencar memperkenalkan pengolahan sampah skala rumah tangga dan sekolah ini menarik perhatian berbagai pihak yang peduli lingkungan hidup. Dan yang lebih membanggakan, langkah Teti Suryati menerapkan green kurikulum misalnya sudah banyak diikuti oleh sekolah-sekolah lainnya baik itu di Jakarta maupun luar Jakarta.

Berbagai tawaran dan undangan pun banyak berdatangan. “Besok saya harus sudah ada di Depok untuk memberikan materi soal lingkungan mas” katanya kepada Baitul Muslimin. Tapi tentu saja, di tengah kesibukannya sebagai aktivis lingkungan hidup, Teti tak serta merta melupakan tugas utamanya yaitu sebagai tenaga pengajar di SMA 12 Jakarta.*** (Leli/BM)

Monday, July 28, 2008

Menggagas Pendidikan Multikultural



Dunia pendidikan kita sering menjadi alamat kritikan dari berbagai pihak. Banyak kalangan yang menilai model pendidikan Indonesia dikelola dengan manajemen yang salah kaprah. Pendidikan hanya berorientasi materi, menjadikan peserta didik sebagai obyek, sampai kentalnya kepentingan politik banyak mewarnai cermin buram dunia pendidikan kita. Banyaknya masalah di sekitar dunia pendidikan, mendorong wacana pentingnya pendidikan kita dijalankan dengan model pendidikan multikulturalisme semakin mendesak. Bagaimana sebenarnya model pendidikan ini dijalankan.

Wacana tentang pentingnya pendidikan multikultural dalam konteks pendidikan Indonesia mencuat paska reformasi. Munculnya model pendidikan ini merupakan bentuk keprihatinan banyak kalangan terhadap ketidakberesan pendidikan di masyarakat. Pendidikan yang sekarang berjalan dirasa tidak sesuai dengan realitas dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia membutuhkan model pendidikan yang mencerdaskan, mendewasakan, mampu menghargai perbedaan, dan mampu menjadi problem solving atas konflik-konflik yang terjadi di masyarakat terutama konflik horisontal yang selama ini banyak terjadi di Indonesia.
Dunia pendidikan kita juga sekarang ini dihadapkan pada kenyataan semakin terdegradasinya moral dan mentalitas anak didik. Mereka yang seharusnya menjadi mahluk terdidik lewat program-program yang mencerdaskan, ternyata justru sebaliknya menjadi generasi yang tidak bisa diharapkan. Tengok saja kenyataan sekarang ini, banyaknya peserta didik yang mengkonsumsi narkoba, peredaran video-video mesum yang diperankan pelajar, sampai pada maraknya aksi kekerasan di antara pelajar seperti yang terjadi di Pati dengan gank Neronya, Bandung dengan peristiwa tragis STPDN, dan kota-kota lainnya.
Peristiwa-peristiwa tersebut banyak membuat tanda tanya besar dalam dunia pendidikan kita. Peran pemerintah lewat dominasi legislasi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menentukan bentuk kurikulum dan model pendidikan seperti apa yang harus dijalankan, patut dipertanyakan. Pemerintah dinilai tidak berhasil dalam menjalankan pendidikan nasional, dan menyediakan pendidikan bagi masyarakat. Banyak kalangan pendidikan menilai, sudah saatnya peran pemerintah dalam dunia pendidikan dikurangi. Pendidikan seharusnya diserahkan kepada stakeholder yang paling bertanggungjawab yaitu, lembaga pendidikan, orang tua dan masyarakat.
Dan parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan dunia pendidikan tidak lagi ditentukan dengan standar nilai yang selama ini dijalankan oleh pemerintah lewat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), dengan adanya penyelenggaraan Ujian Nasional (Unas) di tingkat SMP sampai SMA, dan terakhir juga diwacanakan di tingkat SD. Parameter keberhasilan hendaknya juga dilihat dari proses yang dilalui oleh seorang peserta didik, sehingga penilaian yang muncul adalah penilaian komprehensif dan paripurna yang dibuat berdasarkan penilaian obyektif tenaga pendidik.

Masalah Pokok Pendidikan
Dunia pendidikan kita sekarang ini tidak saja menghadapi masalah ditingkat software seperti belum adanya model pendidikan yang sesuai dengan realitas dan kebutuhan masyarakat Indonesia, tetapi juga adanya masalah di tingkat sarana dan prasarana. Kurangnya pemerintah menyediakan sarana pembelajaran seperti tersedianya buku-buku teks, penyediaan gedung dan fasilitas yang memadai untuk proses belajar mengajar sampai pada minimnya standar kualitas guru yang tersedia ikut memberi sumbangan permasalahan dalam dunia pendidikan kita.
Menurut Prof. Drs. Arif Rahman Hakim, MPd., masalah utama yang dihadapi oleh dunia pendidikan kita adalah minimnya anggaran yang diperuntukan di sektor ini. “Negara tidak punya uang, melainkan utang” katanya. Untuk mengatasi masalahnya, pakar pendidikan ini mengharapkan adanya kerjasama yang sinergis antara pemerintah dengan masyarakat. “Karena itu kalau memperbaiki pendidikan di Indonesia maka pendidikan ini harus ditopang oleh pemberdayaan masyaraka. Tidak bersandar lagi sama pemerintah, tapi kepada masyarakat. Sehingga kalau nanti umpamanya ada sekolah yang tidak terlalu bermutu yang salah adalah masyarakatnya” paparnya.
Menurut pria kelahiran Malang, 19 Juni 1942 dunia pendidikan Indonesia sekarang ini setidaknya menghadapi empat permasalahan pokok yang harus segera dituntaskan. Keempat masalah tersebut di antaranya adalah belum adanya pemerataan pendidikan di masyarakat, rendahnya martabat tenaga pendidikan di Indonesia, belum adanya bentuk kurikulum yang sesuai dengan dunia pendidikan kita, dan kurangnya fasilitas sarana prasarana.
Belum adanya pemerataan pendidikan di masyarakat misalnya. Ini menjadi masalah yang cukup serius, karena sampai saat ini banyak masyarakat Indonesia khususnya yang tinggal di daerah-daerah terpencil belum mendapatkan akses pendidikan. Kondisi seperti ini tidak saja terjadi di daerah rural, tetapi juga di daerah-daerah perkotaan. Adanya perbedaan standar kualitas antara pendidikan di swasta dan negeri ataupun kualitas pendidikan di perkotaan dengan di pedesaan, menjadi agenda yang harus diselesaikan pemerintah. Pemerintah seharusnya tidak lagi membedakan antara kualitas pendidikan di pedesaan dengan di perkotaan, sehingga kesenjangan diantara dua wilayah ini tidak terjadi.
Selain itu tingkat martabat guru di Indonesia juga menjadi permasalahan. “Guru di Indonesia gajinya lebih rendah dari supir pribadi di Jakarta. Sekarang perhatikan saja tidak ada anak ingin menjadi guru. Jarang ada anak yang prestasinya baik, ranking di sekolah, mau menjadi guru. Mereka biasanya semua ingin menjadi insinyur, jadi dokter. Yang menjadi guru itu adalah siswa yang nggak diterima dimana-mana. Dengan itu lalu kita akan mengalami mutu guru yang rendah. Dengan mutu guru yang rendah ini kita akan mengharap apa dari pendidikan itu. Kalau umpamanya gaji guru di Malaysia itu 6 juta satu bulan. Di Indonesia gaji guru ada yang 600 ribu satu bulan. Sedangkan gaji supir itu ada yang 1,5 juta setiap bulan. Tukang parkir saja pendapatannya ada yang lebih tinggi dari guru” kata pakar pendidikan Arif Rahman. kepada Baitul Muslimin.
Permasalahan yang ketiga adalah kurikulum yang pada saat sekarang ini belum mendapatkan bentuk. Maksudnya kurikulum kita sedang mencari bentuk mana yang paling baik. Sehingga guru-guru sendiri juga dengan kurikulum itu bereksperimen. “Dan kita harus pahami bahwa ini semua dilalui dengan suatu perjalanan yang panjang. Dan insya Allah akan menjadi lebih baik. Dari martabat guru dan kurikulum itu yang menderita adalah proses belajar mengajar. Proses belajar mengajarnya akan terganggu”.
Menurut pakar pendidikan yang juga dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan anak, kurikulum yang bisa membentuk watak (character building), dan memberikan ketrampilan pada anak didik. Pembentukan watak anak dirasakan penting karena selama ini dalam pengajaran soal moral dan budi pekerti yang diberikan hanya pengetahuan bukan penyikapan. Kriteria kurikulum yang dikonsepkan pakar pendidikan ini merupakan kurikulum yang berorientasi ke pendidikan multukultural.
Permasalahan yang keempat adalah fasilitas. Arif Rahman mengisahkan bahwa di daerah-daerah tertentu ada sekolah yang kelasnya hanya disekat-sekat oleh papan dan 6 kelas gurunya hanya ada 2, mereka mengajar kelas yang berbeda secara bersamaan, bolak-balik. Menurutnya, untuk mengatasi masalah rendahnya fasilitas pendidikan pemerintah tidak bisa berjalan sendiri karena biaya yang dibutuhkannya pun tidak kecil. Sebagai solusinya, Arif mengajak agar masyarakat juga peduli terhadap masalah ini. “Masyarakat harus sedih melihat kondisi ini, dan bangkit untuk memperbaiki kondisi fasilitas pendidikan yang rusak” .
Apa itu Pendidikan Multikultural
Lantas apa itu pendidikan multikultural? Pendidikan multikultural merupakan model pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan dalam kurikulum yang di dalamnya terdapat unsur-unsur seperti konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction), adanya nilai-nilai pengurangan prasangka (prejudice reduction), pedagogik kesetaraan antar manusia (equality pedagogy), dan adanya pemberdayaan budaya sekolah (empowering school culture). Dengan kata lain pendidikan multikultural harus melibatkan interaksi ketiga stakeholder seperti sekolah, keluarga dan masyarakat sehingga keberhasilan pendidikan tidak saja menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan seperti yang terjadi sekarang ini. Orang tua hanya berkewajiban membayar biaya-biaya sekolah tanpa memperhatikan aspek-aspek perkembangan anaknya. Begitu juga dengan masyarakat sebagai laboratorium kedua, seharusnya mengajarkan nilai-nilai sosial berkepribadian tinggi kepada anak-anak sehingga mereka bisa menghargai dirinya dan orang lain.
Menurut Widiyanto, lembaga pendidikan di Indonesia sekarang ini kurang memahami anak didik sebagai seorang pribadi. Malahan menurutnya paham tentang anak didik sudah mengalami degradasi pada masa Orde Baru hingga saat ini bila dibandingkan dengan masa Hindia Belanda dan Orde Lama. “Pada masa Hindia Belanda dan Orde Lama,para guru,penilik sekolah masih menganggap siswa sebagai anak didik dan mereka pun bertanggung jawab secara penuh. Tapi pada masa Orde Baru hal ini tidak terlihat dan malahan terjadi kerusakan sistem secara terus menerus” katanya.
Pengamatan Widiyanto juga dibenarkan oleh Anita Lie. Menurut pakar pendidikan yang juga aktivis Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), pada masa Orde Baru siswa tidak lagi diperlakukan sebagai anak didik, melainkan sebagai obyek. “Negara dan sistem pendidikan nasional sekarang ini memandang anak didik sebagai bagian dari hitungan angka. Sekolah juga menghitung anak didik sebagai bagian dari komponen yang ada hubungannya dengan uang sumbangan masuk dan iuran pendidikan lainnya” tuturnya.
Kenyataan ini diperkuat oleh adanya permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan nasional, yaitu adanya kesenjangan antar lembaga pendidikan seiring dengan terjadinya proses globalisasi. Munculnya permasalahan ini sebagai akibat dari kurangnya perhatian pemerintah dalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan pendidikan. Lebih parah dari itu, pemerintah juga tidak mampu membuat stanndar apa yang dinamakan dengan pendidikan bermutu tinggi. Maka tak mengherankan banyak lembaga-lembaga pendidikan swasta yang mengadopsi model pendidikan luar, dan tentunya dengan bayaran tinggi yang tidak mampu dimiliki oleh masyarakat Indonesia kebanyakan. Sehingga masyarakat Indonesia dalam memilih pendidikan tidak lagi ditentukan oleh adanya kebutuhan untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan tingkat intelegensi anak, melainkan ditentukan oleh seberapa kuat orang tuanya mampu membayar uang sekolah.
Revitalisasi Kurikulum dalam Pendidikan Multikultural
Dalam mengkonsepkan pendidikan multikultural di Indonesia, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah model pendidikan multikultural seperti apa yang cocok dengan karakter bangsa kita ini yang banyak menjungjung tinggi nilai-nilai ketimuran.
Menurut Anita Lie, model pendidikan multikultural yang sesuai di Indonesia adalah pendidikan multikultural yang berlandaskan dengan nilai-nilai pancasila dan nilai-nilai kebangsaan. Oleh sebab itu pendidikan multikultural yang akan dikembangkan hendaknya bertujuan mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas. “Manusia yang cerdas di sini tidak saja cerdik pandai dan mempunyai kemampuan menguasai ilmu pengetahuan serta menyelesaikan masalah, melainkan juga bermoral, memiliki sikap demokratis, dan memiliki sikap empati terhadap orang lain”tuturnya.
Konsepsi mengenai tujuan pengembangan pendidikan multikultural yang diutarakan oleh Anita Lie, juga memiliki kesamaan dengan apa yang diutarakan oleh Prof. Drs. Arif Rahman, MP.d. Menurut ketua harian Komnas Indonesia untuk Unesco, pendidikan yang bermutu tinggi adalah pendidikan yang memenuhi kelima indikator. Kelima indikator tersebut adalah berkepribadian matang, berilmu mutakhir, berprestasi, punya rasa kebangsaan, berwawasan global.
Model pendidikan multikultural yang dikembangkan dalam pendidikan nasional, menurut Anita Lie tidak perlu dibuatkan kurikulum baru yang terpisah dengan yang sudah ada. Yang perlu dilakukan adalah upaya merevitalisasi kurikulum yang sudah ada berikut dengan modifikasi model-model pembelajaran.
Meminjam istilah yang digunakan Arif Rahman, kurikulum pendidikan kita sedang mencari formatnya. Dalam artian, kurikulum kita sekarang ini sedang mencari bentuknya yang paling baik, sehingga dengan kurikulum tersebut tenaga pendidik yang ada mampu mengeksplorasi kemampuan dan pikirannya dalam proses belajar mengajar. Selain itu kurikulum yang sedang mencari bentuknya tersebut, bisa melahirkan generasi berkualitas yang mencerdaskan dan memiliki jiwa kebangsaan yang tinggi.
Kelemahan-kelemahan kurikulum sekarang ini dapat dilihat dalam model pengajaran beberapa mata pelajaran yang diajarkan di lembaga pendidikan, dalam pendidikan agama misalnya. Pendidikan agama yang diberikan di lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.
Selain itu pendidikan agama juga masih diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya, seakan-akan hanya agamanya sendirilah yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas. Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat pendidikan multikultural, dan akan memperlemah persatuan bangsa.
Selain dalam pendidikan agama, sistem pendidikan nasional yang sekarang ini juga memiliki kelemahan dalam pendidikan kewiraan, kepramukaan dan kewarganegaraan. Ketiganya seharusnya ikut ambil bagian dalam pembentukan masyarakat multicultural dan memperkuat wawasan kebangsaan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan kewiraan sudah mulai kehilangan dimensi multikulturalnya, sebagai akibat krisis militerisme dalam kehidupan politik bangsa. Akibatnya tidak ada lagi minat dan semangat di kalangan mahasiswa untuk mempelajarinya, bahkan telah kehilangan aktualitasnya. Sementara pendidikan kepramukaan dan kewarganegaraan menjadi antirealitas karena tidak mengalami aktualisasi hidup di tengah realitas perubahan sosial yang kompleks dalam tekanan budaya global yang cenderung materialistik dan hedonistik.
Oleh sebab itu, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional berikut dengan kurikulumnya adalah dengan menerapkan nilai—nilai pendidikan multikultural. Hal ini sangat penting dilakukan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang belajar. Sekolah bukan saja tempat bagi siswa untuk belajar melainkan sekolah justru ikut berkembang, karena sekolah juga belajar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Karena itu, sekolah perlu mengembangkan diri dan belajar tiada berkesudahan. (Lq/MBM)