Monday, July 28, 2008

Menggagas Pendidikan Multikultural



Dunia pendidikan kita sering menjadi alamat kritikan dari berbagai pihak. Banyak kalangan yang menilai model pendidikan Indonesia dikelola dengan manajemen yang salah kaprah. Pendidikan hanya berorientasi materi, menjadikan peserta didik sebagai obyek, sampai kentalnya kepentingan politik banyak mewarnai cermin buram dunia pendidikan kita. Banyaknya masalah di sekitar dunia pendidikan, mendorong wacana pentingnya pendidikan kita dijalankan dengan model pendidikan multikulturalisme semakin mendesak. Bagaimana sebenarnya model pendidikan ini dijalankan.

Wacana tentang pentingnya pendidikan multikultural dalam konteks pendidikan Indonesia mencuat paska reformasi. Munculnya model pendidikan ini merupakan bentuk keprihatinan banyak kalangan terhadap ketidakberesan pendidikan di masyarakat. Pendidikan yang sekarang berjalan dirasa tidak sesuai dengan realitas dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia membutuhkan model pendidikan yang mencerdaskan, mendewasakan, mampu menghargai perbedaan, dan mampu menjadi problem solving atas konflik-konflik yang terjadi di masyarakat terutama konflik horisontal yang selama ini banyak terjadi di Indonesia.
Dunia pendidikan kita juga sekarang ini dihadapkan pada kenyataan semakin terdegradasinya moral dan mentalitas anak didik. Mereka yang seharusnya menjadi mahluk terdidik lewat program-program yang mencerdaskan, ternyata justru sebaliknya menjadi generasi yang tidak bisa diharapkan. Tengok saja kenyataan sekarang ini, banyaknya peserta didik yang mengkonsumsi narkoba, peredaran video-video mesum yang diperankan pelajar, sampai pada maraknya aksi kekerasan di antara pelajar seperti yang terjadi di Pati dengan gank Neronya, Bandung dengan peristiwa tragis STPDN, dan kota-kota lainnya.
Peristiwa-peristiwa tersebut banyak membuat tanda tanya besar dalam dunia pendidikan kita. Peran pemerintah lewat dominasi legislasi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menentukan bentuk kurikulum dan model pendidikan seperti apa yang harus dijalankan, patut dipertanyakan. Pemerintah dinilai tidak berhasil dalam menjalankan pendidikan nasional, dan menyediakan pendidikan bagi masyarakat. Banyak kalangan pendidikan menilai, sudah saatnya peran pemerintah dalam dunia pendidikan dikurangi. Pendidikan seharusnya diserahkan kepada stakeholder yang paling bertanggungjawab yaitu, lembaga pendidikan, orang tua dan masyarakat.
Dan parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan dunia pendidikan tidak lagi ditentukan dengan standar nilai yang selama ini dijalankan oleh pemerintah lewat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), dengan adanya penyelenggaraan Ujian Nasional (Unas) di tingkat SMP sampai SMA, dan terakhir juga diwacanakan di tingkat SD. Parameter keberhasilan hendaknya juga dilihat dari proses yang dilalui oleh seorang peserta didik, sehingga penilaian yang muncul adalah penilaian komprehensif dan paripurna yang dibuat berdasarkan penilaian obyektif tenaga pendidik.

Masalah Pokok Pendidikan
Dunia pendidikan kita sekarang ini tidak saja menghadapi masalah ditingkat software seperti belum adanya model pendidikan yang sesuai dengan realitas dan kebutuhan masyarakat Indonesia, tetapi juga adanya masalah di tingkat sarana dan prasarana. Kurangnya pemerintah menyediakan sarana pembelajaran seperti tersedianya buku-buku teks, penyediaan gedung dan fasilitas yang memadai untuk proses belajar mengajar sampai pada minimnya standar kualitas guru yang tersedia ikut memberi sumbangan permasalahan dalam dunia pendidikan kita.
Menurut Prof. Drs. Arif Rahman Hakim, MPd., masalah utama yang dihadapi oleh dunia pendidikan kita adalah minimnya anggaran yang diperuntukan di sektor ini. “Negara tidak punya uang, melainkan utang” katanya. Untuk mengatasi masalahnya, pakar pendidikan ini mengharapkan adanya kerjasama yang sinergis antara pemerintah dengan masyarakat. “Karena itu kalau memperbaiki pendidikan di Indonesia maka pendidikan ini harus ditopang oleh pemberdayaan masyaraka. Tidak bersandar lagi sama pemerintah, tapi kepada masyarakat. Sehingga kalau nanti umpamanya ada sekolah yang tidak terlalu bermutu yang salah adalah masyarakatnya” paparnya.
Menurut pria kelahiran Malang, 19 Juni 1942 dunia pendidikan Indonesia sekarang ini setidaknya menghadapi empat permasalahan pokok yang harus segera dituntaskan. Keempat masalah tersebut di antaranya adalah belum adanya pemerataan pendidikan di masyarakat, rendahnya martabat tenaga pendidikan di Indonesia, belum adanya bentuk kurikulum yang sesuai dengan dunia pendidikan kita, dan kurangnya fasilitas sarana prasarana.
Belum adanya pemerataan pendidikan di masyarakat misalnya. Ini menjadi masalah yang cukup serius, karena sampai saat ini banyak masyarakat Indonesia khususnya yang tinggal di daerah-daerah terpencil belum mendapatkan akses pendidikan. Kondisi seperti ini tidak saja terjadi di daerah rural, tetapi juga di daerah-daerah perkotaan. Adanya perbedaan standar kualitas antara pendidikan di swasta dan negeri ataupun kualitas pendidikan di perkotaan dengan di pedesaan, menjadi agenda yang harus diselesaikan pemerintah. Pemerintah seharusnya tidak lagi membedakan antara kualitas pendidikan di pedesaan dengan di perkotaan, sehingga kesenjangan diantara dua wilayah ini tidak terjadi.
Selain itu tingkat martabat guru di Indonesia juga menjadi permasalahan. “Guru di Indonesia gajinya lebih rendah dari supir pribadi di Jakarta. Sekarang perhatikan saja tidak ada anak ingin menjadi guru. Jarang ada anak yang prestasinya baik, ranking di sekolah, mau menjadi guru. Mereka biasanya semua ingin menjadi insinyur, jadi dokter. Yang menjadi guru itu adalah siswa yang nggak diterima dimana-mana. Dengan itu lalu kita akan mengalami mutu guru yang rendah. Dengan mutu guru yang rendah ini kita akan mengharap apa dari pendidikan itu. Kalau umpamanya gaji guru di Malaysia itu 6 juta satu bulan. Di Indonesia gaji guru ada yang 600 ribu satu bulan. Sedangkan gaji supir itu ada yang 1,5 juta setiap bulan. Tukang parkir saja pendapatannya ada yang lebih tinggi dari guru” kata pakar pendidikan Arif Rahman. kepada Baitul Muslimin.
Permasalahan yang ketiga adalah kurikulum yang pada saat sekarang ini belum mendapatkan bentuk. Maksudnya kurikulum kita sedang mencari bentuk mana yang paling baik. Sehingga guru-guru sendiri juga dengan kurikulum itu bereksperimen. “Dan kita harus pahami bahwa ini semua dilalui dengan suatu perjalanan yang panjang. Dan insya Allah akan menjadi lebih baik. Dari martabat guru dan kurikulum itu yang menderita adalah proses belajar mengajar. Proses belajar mengajarnya akan terganggu”.
Menurut pakar pendidikan yang juga dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan anak, kurikulum yang bisa membentuk watak (character building), dan memberikan ketrampilan pada anak didik. Pembentukan watak anak dirasakan penting karena selama ini dalam pengajaran soal moral dan budi pekerti yang diberikan hanya pengetahuan bukan penyikapan. Kriteria kurikulum yang dikonsepkan pakar pendidikan ini merupakan kurikulum yang berorientasi ke pendidikan multukultural.
Permasalahan yang keempat adalah fasilitas. Arif Rahman mengisahkan bahwa di daerah-daerah tertentu ada sekolah yang kelasnya hanya disekat-sekat oleh papan dan 6 kelas gurunya hanya ada 2, mereka mengajar kelas yang berbeda secara bersamaan, bolak-balik. Menurutnya, untuk mengatasi masalah rendahnya fasilitas pendidikan pemerintah tidak bisa berjalan sendiri karena biaya yang dibutuhkannya pun tidak kecil. Sebagai solusinya, Arif mengajak agar masyarakat juga peduli terhadap masalah ini. “Masyarakat harus sedih melihat kondisi ini, dan bangkit untuk memperbaiki kondisi fasilitas pendidikan yang rusak” .
Apa itu Pendidikan Multikultural
Lantas apa itu pendidikan multikultural? Pendidikan multikultural merupakan model pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan dalam kurikulum yang di dalamnya terdapat unsur-unsur seperti konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction), adanya nilai-nilai pengurangan prasangka (prejudice reduction), pedagogik kesetaraan antar manusia (equality pedagogy), dan adanya pemberdayaan budaya sekolah (empowering school culture). Dengan kata lain pendidikan multikultural harus melibatkan interaksi ketiga stakeholder seperti sekolah, keluarga dan masyarakat sehingga keberhasilan pendidikan tidak saja menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan seperti yang terjadi sekarang ini. Orang tua hanya berkewajiban membayar biaya-biaya sekolah tanpa memperhatikan aspek-aspek perkembangan anaknya. Begitu juga dengan masyarakat sebagai laboratorium kedua, seharusnya mengajarkan nilai-nilai sosial berkepribadian tinggi kepada anak-anak sehingga mereka bisa menghargai dirinya dan orang lain.
Menurut Widiyanto, lembaga pendidikan di Indonesia sekarang ini kurang memahami anak didik sebagai seorang pribadi. Malahan menurutnya paham tentang anak didik sudah mengalami degradasi pada masa Orde Baru hingga saat ini bila dibandingkan dengan masa Hindia Belanda dan Orde Lama. “Pada masa Hindia Belanda dan Orde Lama,para guru,penilik sekolah masih menganggap siswa sebagai anak didik dan mereka pun bertanggung jawab secara penuh. Tapi pada masa Orde Baru hal ini tidak terlihat dan malahan terjadi kerusakan sistem secara terus menerus” katanya.
Pengamatan Widiyanto juga dibenarkan oleh Anita Lie. Menurut pakar pendidikan yang juga aktivis Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), pada masa Orde Baru siswa tidak lagi diperlakukan sebagai anak didik, melainkan sebagai obyek. “Negara dan sistem pendidikan nasional sekarang ini memandang anak didik sebagai bagian dari hitungan angka. Sekolah juga menghitung anak didik sebagai bagian dari komponen yang ada hubungannya dengan uang sumbangan masuk dan iuran pendidikan lainnya” tuturnya.
Kenyataan ini diperkuat oleh adanya permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan nasional, yaitu adanya kesenjangan antar lembaga pendidikan seiring dengan terjadinya proses globalisasi. Munculnya permasalahan ini sebagai akibat dari kurangnya perhatian pemerintah dalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan pendidikan. Lebih parah dari itu, pemerintah juga tidak mampu membuat stanndar apa yang dinamakan dengan pendidikan bermutu tinggi. Maka tak mengherankan banyak lembaga-lembaga pendidikan swasta yang mengadopsi model pendidikan luar, dan tentunya dengan bayaran tinggi yang tidak mampu dimiliki oleh masyarakat Indonesia kebanyakan. Sehingga masyarakat Indonesia dalam memilih pendidikan tidak lagi ditentukan oleh adanya kebutuhan untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan tingkat intelegensi anak, melainkan ditentukan oleh seberapa kuat orang tuanya mampu membayar uang sekolah.
Revitalisasi Kurikulum dalam Pendidikan Multikultural
Dalam mengkonsepkan pendidikan multikultural di Indonesia, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah model pendidikan multikultural seperti apa yang cocok dengan karakter bangsa kita ini yang banyak menjungjung tinggi nilai-nilai ketimuran.
Menurut Anita Lie, model pendidikan multikultural yang sesuai di Indonesia adalah pendidikan multikultural yang berlandaskan dengan nilai-nilai pancasila dan nilai-nilai kebangsaan. Oleh sebab itu pendidikan multikultural yang akan dikembangkan hendaknya bertujuan mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas. “Manusia yang cerdas di sini tidak saja cerdik pandai dan mempunyai kemampuan menguasai ilmu pengetahuan serta menyelesaikan masalah, melainkan juga bermoral, memiliki sikap demokratis, dan memiliki sikap empati terhadap orang lain”tuturnya.
Konsepsi mengenai tujuan pengembangan pendidikan multikultural yang diutarakan oleh Anita Lie, juga memiliki kesamaan dengan apa yang diutarakan oleh Prof. Drs. Arif Rahman, MP.d. Menurut ketua harian Komnas Indonesia untuk Unesco, pendidikan yang bermutu tinggi adalah pendidikan yang memenuhi kelima indikator. Kelima indikator tersebut adalah berkepribadian matang, berilmu mutakhir, berprestasi, punya rasa kebangsaan, berwawasan global.
Model pendidikan multikultural yang dikembangkan dalam pendidikan nasional, menurut Anita Lie tidak perlu dibuatkan kurikulum baru yang terpisah dengan yang sudah ada. Yang perlu dilakukan adalah upaya merevitalisasi kurikulum yang sudah ada berikut dengan modifikasi model-model pembelajaran.
Meminjam istilah yang digunakan Arif Rahman, kurikulum pendidikan kita sedang mencari formatnya. Dalam artian, kurikulum kita sekarang ini sedang mencari bentuknya yang paling baik, sehingga dengan kurikulum tersebut tenaga pendidik yang ada mampu mengeksplorasi kemampuan dan pikirannya dalam proses belajar mengajar. Selain itu kurikulum yang sedang mencari bentuknya tersebut, bisa melahirkan generasi berkualitas yang mencerdaskan dan memiliki jiwa kebangsaan yang tinggi.
Kelemahan-kelemahan kurikulum sekarang ini dapat dilihat dalam model pengajaran beberapa mata pelajaran yang diajarkan di lembaga pendidikan, dalam pendidikan agama misalnya. Pendidikan agama yang diberikan di lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.
Selain itu pendidikan agama juga masih diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya, seakan-akan hanya agamanya sendirilah yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas. Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat pendidikan multikultural, dan akan memperlemah persatuan bangsa.
Selain dalam pendidikan agama, sistem pendidikan nasional yang sekarang ini juga memiliki kelemahan dalam pendidikan kewiraan, kepramukaan dan kewarganegaraan. Ketiganya seharusnya ikut ambil bagian dalam pembentukan masyarakat multicultural dan memperkuat wawasan kebangsaan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan kewiraan sudah mulai kehilangan dimensi multikulturalnya, sebagai akibat krisis militerisme dalam kehidupan politik bangsa. Akibatnya tidak ada lagi minat dan semangat di kalangan mahasiswa untuk mempelajarinya, bahkan telah kehilangan aktualitasnya. Sementara pendidikan kepramukaan dan kewarganegaraan menjadi antirealitas karena tidak mengalami aktualisasi hidup di tengah realitas perubahan sosial yang kompleks dalam tekanan budaya global yang cenderung materialistik dan hedonistik.
Oleh sebab itu, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional berikut dengan kurikulumnya adalah dengan menerapkan nilai—nilai pendidikan multikultural. Hal ini sangat penting dilakukan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang belajar. Sekolah bukan saja tempat bagi siswa untuk belajar melainkan sekolah justru ikut berkembang, karena sekolah juga belajar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Karena itu, sekolah perlu mengembangkan diri dan belajar tiada berkesudahan. (Lq/MBM)

No comments: