Monday, September 1, 2008

Mencintai Alam Lewat Pelajaran


Kepedulian Lewat Green Kurikulum


Membuat perubahan tak semuanya harus dimulai dari hal-hal besar. Sesuatu yang pada awalnya tak dianggap ternyata bisa membawa manfaat besar bila dilakukan dengan kesungguhan. Seperti apa yang dilakukan oleh Teti Suryati di lingkungan tempat tinggalnya.

Bermula dari keprihatinannya terhadap lingkungan tempat di mana dia tinggal, Teti Suryati terdorong untuk mengajak dan mengajarkan kepada warganya bagaimana cara mencintai lingkungan. “Tempat tinggal saya sangat kumis mas” kata Teti mengawali perbincangannya dengan Baitul Muslimin. Kumis yang dimaksud Teti, bukanlah kumis yang banyak dimiliki kaum Adam melainkan kumuh dan miskin. “Bayangkan saja, hampir 40% tempat tinggal di tempat saya adalah kost-kostan. Jadi wajar saja, kalau mereka kurang peka karena kan pendatang dan waktu tinggalnya pun gak pasti” ujarnya lebih jauh.

Kondisi tempat tinggal yang kumuh dan miskin inilah justru yang membuat Teti Suryati berfikir lebih kreatif dalam melestarikan lingkungannya. Keengganan warga pada waktu itu dijawab Teti dengan ajakan-ajakan kepada warga untuk mulai menanam. “Penghuni kost-kostan saja kami wajibkan untuk menanam dan merawatnya,”

Kepedulian Teti Suryati dalam menjaga lingkungan tempat tinggalnya membuat dia terkenal di kalangan masyarakat luas. Ia sering diundang ke berbagai daerah di Tanah Air oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) guna berbagi ilmu membuat kompos. Teti membuktikan setinggi apa pun pengetahuan yang dimiliki tidak akan berguna tanpa dipraktikkan.

Kampanye Berbuah Hasil

Semuanya bermula dari sesuatu yang tidak diharapkan. Kondisi lingkungan tempat tinggal yang kumuh dan sempit menginspirasi dia untuk mengajak warga mengubahnya menjadi lingkungan yang bersih dan hijau. Ia minta setiap rumah menanam dua pohon. Selain itu, setiap pukul 16.00, mereka juga diwajibkan membersihkan halaman masing-masing. Bagi warga yang tak bersedia, ada denda menyediakan dua pohon di depan rumah.

Komitmen Teti Suryati terhadap lingkungan pada awalnya tidak berbanding lurus dengan respon masyarakat tempat dia tinggal. Maka tidak mengherankan bila langkah-lagkah yang dilakukan Teti sering kali mendapat cibiran. ”Setiap kali saya ceramah soal pengolahan sampah rumah tangga, warga malah bertanya ngapain susah-susah ngurus sampah?’ Mereka merasa sudah membayar retribusi kebersihan, jadi enggak perlu pusing mikirin sampah,” cerita Teti.

Tanggapan kurang bersahabat pun tak berhenti sampai di situ. Ketika Teti mencoba untuk mengajak warga untuk belajar membuat kompos sebagai media tanam. “Banyak warga yang menanggapi buat apa beli kompos? Mending beli saja, kan harganya cuman Rp. 1.000 per kilogram. Lagian kita juga kan gak repot,”.

Tetapi sikap apatis dan kurang mendukung dari warga tempat tinggalnya tak menyurutkan semangatnya untuk berbagi dan mengubah paradigma berpikir masyarakat soal bagaimana menjaga lingkungannya. Berbagai sikap apatis dan keluhan itu justru diterimanya dengan sikap positif, dan dengan ide kreatif pun Teti lantas menciptakan komposter untuk mengurangi sampah di rumah.

Kegiatan ini pada akhirnya membiasakan warga di kampung Bulak untuk terbiasa memilah sampah di rumah. Sampah organik warga itu dikumpulkan di enam posko, sedangkan sampah nonorganik, seperti kertas, plastik, dan kayu, dijual atau dibuat kerajinan tangan. Petugas kebersihan hanya mengangkut sampah yang sama sekali tak bisa didaur ulang. ”Menumbuhkan kesadaran warga untuk memisahkan sampah tidaklah semudah membalikan tangan” kata instruktur pendidikan lingkungan hidup bagi guru-guru program Western Java Environment Management Project (WJEMP) 2003. Bayangkan saja, untuk sampah dapur saja misalnya, Teti Suryati menghitung hampir 1,5 kilogram sampah dihasilkan dari tiap rumah. Dan ini belum dikalkulasi dengan sampah-sampah lainnya seperti sampah pasar, jalanan, pusat perbelanjaan dan industri.

Komposter buatan yang didesain Teti berbahan kaleng bekas cat berukuran 25 kilogram, yang diberi alat pemutar pada bagian samping atau tutup kaleng. Alat pemutar ini sekaligus berfungsi untuk memilah sampah berdasarkan jenisnya, ada sampah anorganik dan sampah organik. Tak hanya sampai di situ, untuk mengikuti trend dan selera masyarakat pun Teti berusaha mengembangkan 13 tipe komposter dengan bahan baku kaleng dengan alat pemutar. Tahun lalu, dia mengembangkan komposter gantung yang dibuat dari tempayan air, untuk mengajari warga membuat kompos cair. Untuk model terakhir ini malah bisa digantung dan cocok untuk tipe rumah tak berhalaman.

Kegiatan warga tempat di mana Teti tinggal dalam memisahkan sampah berdasarkan jenisnya membuat lingkungan yang tadinya kumis—kumuh dan miskin—menjadi bersih dan asri. Maka tak mengherankan berbagai penghargaan pun banyak di raih. Selama tahun 2004-2006 misalnya, RW 15 selalu menjadi juara ketiga RW bersih dan sehat tingkat Provinsi DKI Jakarta. Dan pada tahun 2007, RW 15 menjadi juara nasional RW Bersih yang diselenggarakan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Green Kurikulum

Langkah Teti untuk mengenalkan pengolahan lingkungan tak terhenti sampai di lingkungan tempat tinggalnya. SMA 12 Jakarta, tempat dia bekerja pun menjadi sasaran berikutnya. Lewat penerapan kurikulum berbasis lingkungan, dia mulai menggagas pelajaran lingkungan hidup sebagai muatan lokalnya.

Dalam sistem pendidikan sekarang ini, Direktorat Pendidikan Menengah Tinggi (Dikmenti) Depdiknas memang memberikan keleluasaan bagi semua sekolah untuk mengajarkan kearifan lokal (local wisdom) sebagai muatan lokal (mulok). Di tempat kerjanya Teti ditunjuk sebagai koordinator untuk membuat silabus dan sistem kompetensi muatan lokal ini. Dalam satu minggu, Teti dan teman-temannya punya waktu dua jam untuk mengkampanyekan lingkungan lewat pelajaran di sekolah.

Di laboratorium, anak-anak didiknya diberi mata pelajaran dan keahlian khusus mengenai pembuatan kompos. Bukan hanya sebatas teori, praktik pembuatan kompos juga dilakukan. Maka tidak heran, lingkungan SMAN 12 Jaktim menjadi hijau dan asri. Coba saja keliling di sekitar sekolah ini banyak terdapat tanaman yang terawat bersih dan hijau. Ini juga didukung dengan adanya sebuah taman di tengah-tengah sekolah yang menambah asri dan teduh suasana sehingga bisa mendukung suasana belajar mengajar.

“Anak-anak didik, saya kasih materi yang ada hubungannya dengan lingkungan, cara pengolahan sampah, dan hemat energi” ujarnya. Langkah Teti bersama guru-guru lainnya menerapkan kurikulum berbasis lingkungan membuahkan hasil. Tak lama berselang setelah penerapan kurikulum model unik ini, SMA 12 tempatnya mengajar terpilih sebagai sekolah berwawasan lingkungan tingkat nasional oleh sebuah lembaga nirlaba internasional yang concern dalam upaya pelestarian lingkungan hidup.

“Walau pun meraih juara kedua, tapi ini merupakan prestasi yang membanggakan bagi kami” tambah perempuan yang menjadi Kader Lingkungan Hidup Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2006. Dalam kompetisi tersebut, siwa-siswa SMA 12 diajak Teti untuk mengolah sampah plastik yang selama ini menjadi masalah besar bagi kota-kota padat seperti Jakarta untuk dijadikan aksesoris. Hasilnya lumayan bagus, berbagai pernik seperti lampu hias yang terbuat dari botol minuman softdrink, tempat sampah dari botol minuman mineral, tas plastik dari bungkus detergen, dan berbagai aksesoris lainnya.

“Tapi untuk sementara aksesoris ini tidak diproduksi untuk kegiatan komersil. Mungkin nanti akan kita arahkan lebih jauh ke sana” ungkap istri Heriyanto yang juga terpilih menjadi Kader Lingkungan Jakarta Green and Clean 2006 oleh sebuah perusahaan lewat program corporate social responsibility (CSR).

Langkah Teti yang gencar memperkenalkan pengolahan sampah skala rumah tangga dan sekolah ini menarik perhatian berbagai pihak yang peduli lingkungan hidup. Dan yang lebih membanggakan, langkah Teti Suryati menerapkan green kurikulum misalnya sudah banyak diikuti oleh sekolah-sekolah lainnya baik itu di Jakarta maupun luar Jakarta.

Berbagai tawaran dan undangan pun banyak berdatangan. “Besok saya harus sudah ada di Depok untuk memberikan materi soal lingkungan mas” katanya kepada Baitul Muslimin. Tapi tentu saja, di tengah kesibukannya sebagai aktivis lingkungan hidup, Teti tak serta merta melupakan tugas utamanya yaitu sebagai tenaga pengajar di SMA 12 Jakarta.*** (Leli/BM)

No comments: