Wednesday, September 24, 2008

Telaah Pustaka




Jilbab dan Politik Standar Ganda

Oleh L. Qomarulaeli


Judul Buku : Politics of The Veil

Penulis : Joan Wallach Scott

Penerbit : The Princenton University Press

Sebagai negara yang paling sekuler di dunia, Perancis pernah dikhawatirkan oleh gerakan jilbabisasi warganya. Konsep negara yang terbuka dan teori kesejahteraan yang diterapkannya, mengundang warga pendatang lainnya untuk merantau di negara mode dunia ini. Dan pendatang dari wilayah Afrika dan Timur Tengah menjadi kedua wilayah yang menyumbangkan imigran terbesar.

Masyarakat muslim di negara ini berkembang signifikan. Lembaga sensus pemerintah setempat misalnya mencatat pertumbuhan warga muslim di Perancis mengalami peningkatan dari tahun-ke tahun. Tentu bagi sebuah politik negara yang menganut prinsip sekuler ini merupakan sesuatu yang perlu diwaspadai.

Pada waktu itu segala bentuk kegiatan keagamaan—sebenarnya bukan hanya islam yang ditekankan—diawasi dan dibatasi oleh pemerintah. Dan salah satu kebijakan yang paling banyak menuai kontroversi adalah kebijakan pelarangan penggunaan jilbab di lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga pendidikan. Sontak saja, umat bukan hanya umat Islam yang melakukan unjuk rasa terhadap kebijakan ini. Atas nama solidaritas dan ukhuwah islamiyyah umat Islam di berbagai belahan dunia lainnya pun mengecam kebijakan ini. Adakah yang salah dengan kebijakan pelarangan jilbab ini?

Pelarangan jilbab sebenarnya sudah dimulai sejak pemerintahan Presiden Francois Mitterand. Pada masa pemerintahannya, beberapa siswi Muslimah dikeluarkan karena berjilbab. Setelah muncul protes, termasuk beberapa demonstrasi di Indonesia, Counseil dEtat (Dewan Negara) memutuskan menoleransi pemakaian jilbab, asal tidak dipaksakan. Dulu dan kini, argumentasi Perancis masih sama. Bahwa jilbab, kerudung dan jenggot dianggap simbol agama (symbole religieux), bisa menimbulkan aksi kekerasan, membahayakan kehidupan rakyat dan negara yang berdasar sekulerisme. Bahkan, ada alasan tak masuk akal bahwa berkerudung dan berjilbab menghalangi telinga siswa sehingga sulit menyerap pelajaran Fisika dan Ilmu Bumi.

Lewat sebua karya cerdas, penulis asal Amerika Serikat Joan Wallach Scott dalam bukunya The Politics of the Veil berhasil memberikan gambaran tentang hal ini. Joan Wallach Scot mempertanyakan kenapa mesti jilbab yang harus menyita perhatian pemerintah, apa Perancis sudah tidak memiliki masalah fundamental dan lebih penting dari itu? “Why the headscarf?”

Scott juga mempertanyakan para pendukung pelarangan ini, yang berargumen bahwa pengaturan ini dilakukan demi kesetaraan gender, demi tegaknya sekularisme (Prancis dalam hal ini) atau bahkan demi terpeliharanya Keperancisan yang khas. Joan Wallach Scot merupakan penulis yang memiliki kepustakaan tentang Perancis terlengkap di Amerika Serikat, dan melakukan studi puluhan tentang negara ini. Lewat bukunya ini Scot juga ingin mengungkapkan bagaimana proses politik seharusnya mengakui dan menegosiasikan perbedaan, bahkan yang tampaknya sedemikian tak mungkinnya sekalipun. Hal inilah yang dibutuhkan oleh politik demokrasi sekarang, di Prancis dan di mana pun.

Tentu kasus pelarangan jilbab di Perancis, bukanlah kebijakan tidak asal buat. Seperti ditulis Joan Wallach Scot, kebijakan ini didorong oleh sejumlah kekhawatiran oleh maraknya semangat keagamaan di Perancis—sesuatu yang menjadi lawan terkuat dari sekularisme.

Kasus pelarangan jilbab di Perancis sebenarnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap jiwa yang membangun negara tersebut. Walau pun Perancis pernah mendeklarasikan diri sebagai negara tersekuler di dunia, tapi bukan kah negerinya Zinedine Zidan ini juga merupakan negara demokrasi? Dan bukankah,--seperti juga kata Scot-- esensi demokrasi harus mampu menegoisasikan perbedaan-perbedaan warganya. Lebih dari itu kita juga harus siap dengan konsekuensi demokrasi yang juga harus mengakomodasi perbedaan.

Mengenai ideologi sekular yang dianut oleh Perancis, bukankah sekulerisme sendiri menghendaki negara netral terhadap kehidupan warga negaranya? Kegiatan-kegiatan seperti penggunaan jilbab di mana pun, shalat, hijab, jenggot, makanan halal, biarawati bertutup kepala, negara tidak memiliki hak untuk melarangnya, begitu juga sebaliknya tidak punya hak untuk memerintah. Adanya kebijakan pelarangan jilbab sebenarnya merupakan gambaran bahwa negara telah mencampuri kehidupan pribadi warga, padahal dalam teorinya itu ditentang oleh sekulerisme.

Dengan kata lain soal jilbab sebenarnya bukan menjadi soal pribadi tetapi sudah menjadi persoalan hak. Dengan munculnya keinginan pemerintah Perancis pada waktu itu untuk mengatur dan membatasi penggunaan simbol-simbol agama, termasuk jilbab, dalam ruang publik seperti sekolah dan perguruan tinggi, jilbab pun beralih menjadi wacana politik. Karena jilbab mau diatur dan bahkan dilarang oleh hukum dan kekuasaan, maka orang yang mengenakannya tidak lagi didasarkan atas argumen agama, tapi argumen politik.

Lantas di mana letak semboyan “liberte, egalite, fraternite” dalam kerangka sekulerisme Perancis. Seperti yang digambarkan Joan Wallach Scott dengan bukunya The Politics of the Veil berhasil mengggambarkan ada politik standar ganda dalam kebijakan pelarangan jilbab ini. Karya ini merupakan karya penting dalam mengkaji pandangan masyarakat Eropa (Perancis) terhadap Islam, terlebih paska peristiwa 11 September.***

No comments: