Monday, July 28, 2008

Menggagas Pendidikan Multikultural



Dunia pendidikan kita sering menjadi alamat kritikan dari berbagai pihak. Banyak kalangan yang menilai model pendidikan Indonesia dikelola dengan manajemen yang salah kaprah. Pendidikan hanya berorientasi materi, menjadikan peserta didik sebagai obyek, sampai kentalnya kepentingan politik banyak mewarnai cermin buram dunia pendidikan kita. Banyaknya masalah di sekitar dunia pendidikan, mendorong wacana pentingnya pendidikan kita dijalankan dengan model pendidikan multikulturalisme semakin mendesak. Bagaimana sebenarnya model pendidikan ini dijalankan.

Wacana tentang pentingnya pendidikan multikultural dalam konteks pendidikan Indonesia mencuat paska reformasi. Munculnya model pendidikan ini merupakan bentuk keprihatinan banyak kalangan terhadap ketidakberesan pendidikan di masyarakat. Pendidikan yang sekarang berjalan dirasa tidak sesuai dengan realitas dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia membutuhkan model pendidikan yang mencerdaskan, mendewasakan, mampu menghargai perbedaan, dan mampu menjadi problem solving atas konflik-konflik yang terjadi di masyarakat terutama konflik horisontal yang selama ini banyak terjadi di Indonesia.
Dunia pendidikan kita juga sekarang ini dihadapkan pada kenyataan semakin terdegradasinya moral dan mentalitas anak didik. Mereka yang seharusnya menjadi mahluk terdidik lewat program-program yang mencerdaskan, ternyata justru sebaliknya menjadi generasi yang tidak bisa diharapkan. Tengok saja kenyataan sekarang ini, banyaknya peserta didik yang mengkonsumsi narkoba, peredaran video-video mesum yang diperankan pelajar, sampai pada maraknya aksi kekerasan di antara pelajar seperti yang terjadi di Pati dengan gank Neronya, Bandung dengan peristiwa tragis STPDN, dan kota-kota lainnya.
Peristiwa-peristiwa tersebut banyak membuat tanda tanya besar dalam dunia pendidikan kita. Peran pemerintah lewat dominasi legislasi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menentukan bentuk kurikulum dan model pendidikan seperti apa yang harus dijalankan, patut dipertanyakan. Pemerintah dinilai tidak berhasil dalam menjalankan pendidikan nasional, dan menyediakan pendidikan bagi masyarakat. Banyak kalangan pendidikan menilai, sudah saatnya peran pemerintah dalam dunia pendidikan dikurangi. Pendidikan seharusnya diserahkan kepada stakeholder yang paling bertanggungjawab yaitu, lembaga pendidikan, orang tua dan masyarakat.
Dan parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan dunia pendidikan tidak lagi ditentukan dengan standar nilai yang selama ini dijalankan oleh pemerintah lewat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), dengan adanya penyelenggaraan Ujian Nasional (Unas) di tingkat SMP sampai SMA, dan terakhir juga diwacanakan di tingkat SD. Parameter keberhasilan hendaknya juga dilihat dari proses yang dilalui oleh seorang peserta didik, sehingga penilaian yang muncul adalah penilaian komprehensif dan paripurna yang dibuat berdasarkan penilaian obyektif tenaga pendidik.

Masalah Pokok Pendidikan
Dunia pendidikan kita sekarang ini tidak saja menghadapi masalah ditingkat software seperti belum adanya model pendidikan yang sesuai dengan realitas dan kebutuhan masyarakat Indonesia, tetapi juga adanya masalah di tingkat sarana dan prasarana. Kurangnya pemerintah menyediakan sarana pembelajaran seperti tersedianya buku-buku teks, penyediaan gedung dan fasilitas yang memadai untuk proses belajar mengajar sampai pada minimnya standar kualitas guru yang tersedia ikut memberi sumbangan permasalahan dalam dunia pendidikan kita.
Menurut Prof. Drs. Arif Rahman Hakim, MPd., masalah utama yang dihadapi oleh dunia pendidikan kita adalah minimnya anggaran yang diperuntukan di sektor ini. “Negara tidak punya uang, melainkan utang” katanya. Untuk mengatasi masalahnya, pakar pendidikan ini mengharapkan adanya kerjasama yang sinergis antara pemerintah dengan masyarakat. “Karena itu kalau memperbaiki pendidikan di Indonesia maka pendidikan ini harus ditopang oleh pemberdayaan masyaraka. Tidak bersandar lagi sama pemerintah, tapi kepada masyarakat. Sehingga kalau nanti umpamanya ada sekolah yang tidak terlalu bermutu yang salah adalah masyarakatnya” paparnya.
Menurut pria kelahiran Malang, 19 Juni 1942 dunia pendidikan Indonesia sekarang ini setidaknya menghadapi empat permasalahan pokok yang harus segera dituntaskan. Keempat masalah tersebut di antaranya adalah belum adanya pemerataan pendidikan di masyarakat, rendahnya martabat tenaga pendidikan di Indonesia, belum adanya bentuk kurikulum yang sesuai dengan dunia pendidikan kita, dan kurangnya fasilitas sarana prasarana.
Belum adanya pemerataan pendidikan di masyarakat misalnya. Ini menjadi masalah yang cukup serius, karena sampai saat ini banyak masyarakat Indonesia khususnya yang tinggal di daerah-daerah terpencil belum mendapatkan akses pendidikan. Kondisi seperti ini tidak saja terjadi di daerah rural, tetapi juga di daerah-daerah perkotaan. Adanya perbedaan standar kualitas antara pendidikan di swasta dan negeri ataupun kualitas pendidikan di perkotaan dengan di pedesaan, menjadi agenda yang harus diselesaikan pemerintah. Pemerintah seharusnya tidak lagi membedakan antara kualitas pendidikan di pedesaan dengan di perkotaan, sehingga kesenjangan diantara dua wilayah ini tidak terjadi.
Selain itu tingkat martabat guru di Indonesia juga menjadi permasalahan. “Guru di Indonesia gajinya lebih rendah dari supir pribadi di Jakarta. Sekarang perhatikan saja tidak ada anak ingin menjadi guru. Jarang ada anak yang prestasinya baik, ranking di sekolah, mau menjadi guru. Mereka biasanya semua ingin menjadi insinyur, jadi dokter. Yang menjadi guru itu adalah siswa yang nggak diterima dimana-mana. Dengan itu lalu kita akan mengalami mutu guru yang rendah. Dengan mutu guru yang rendah ini kita akan mengharap apa dari pendidikan itu. Kalau umpamanya gaji guru di Malaysia itu 6 juta satu bulan. Di Indonesia gaji guru ada yang 600 ribu satu bulan. Sedangkan gaji supir itu ada yang 1,5 juta setiap bulan. Tukang parkir saja pendapatannya ada yang lebih tinggi dari guru” kata pakar pendidikan Arif Rahman. kepada Baitul Muslimin.
Permasalahan yang ketiga adalah kurikulum yang pada saat sekarang ini belum mendapatkan bentuk. Maksudnya kurikulum kita sedang mencari bentuk mana yang paling baik. Sehingga guru-guru sendiri juga dengan kurikulum itu bereksperimen. “Dan kita harus pahami bahwa ini semua dilalui dengan suatu perjalanan yang panjang. Dan insya Allah akan menjadi lebih baik. Dari martabat guru dan kurikulum itu yang menderita adalah proses belajar mengajar. Proses belajar mengajarnya akan terganggu”.
Menurut pakar pendidikan yang juga dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan anak, kurikulum yang bisa membentuk watak (character building), dan memberikan ketrampilan pada anak didik. Pembentukan watak anak dirasakan penting karena selama ini dalam pengajaran soal moral dan budi pekerti yang diberikan hanya pengetahuan bukan penyikapan. Kriteria kurikulum yang dikonsepkan pakar pendidikan ini merupakan kurikulum yang berorientasi ke pendidikan multukultural.
Permasalahan yang keempat adalah fasilitas. Arif Rahman mengisahkan bahwa di daerah-daerah tertentu ada sekolah yang kelasnya hanya disekat-sekat oleh papan dan 6 kelas gurunya hanya ada 2, mereka mengajar kelas yang berbeda secara bersamaan, bolak-balik. Menurutnya, untuk mengatasi masalah rendahnya fasilitas pendidikan pemerintah tidak bisa berjalan sendiri karena biaya yang dibutuhkannya pun tidak kecil. Sebagai solusinya, Arif mengajak agar masyarakat juga peduli terhadap masalah ini. “Masyarakat harus sedih melihat kondisi ini, dan bangkit untuk memperbaiki kondisi fasilitas pendidikan yang rusak” .
Apa itu Pendidikan Multikultural
Lantas apa itu pendidikan multikultural? Pendidikan multikultural merupakan model pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan dalam kurikulum yang di dalamnya terdapat unsur-unsur seperti konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction), adanya nilai-nilai pengurangan prasangka (prejudice reduction), pedagogik kesetaraan antar manusia (equality pedagogy), dan adanya pemberdayaan budaya sekolah (empowering school culture). Dengan kata lain pendidikan multikultural harus melibatkan interaksi ketiga stakeholder seperti sekolah, keluarga dan masyarakat sehingga keberhasilan pendidikan tidak saja menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan seperti yang terjadi sekarang ini. Orang tua hanya berkewajiban membayar biaya-biaya sekolah tanpa memperhatikan aspek-aspek perkembangan anaknya. Begitu juga dengan masyarakat sebagai laboratorium kedua, seharusnya mengajarkan nilai-nilai sosial berkepribadian tinggi kepada anak-anak sehingga mereka bisa menghargai dirinya dan orang lain.
Menurut Widiyanto, lembaga pendidikan di Indonesia sekarang ini kurang memahami anak didik sebagai seorang pribadi. Malahan menurutnya paham tentang anak didik sudah mengalami degradasi pada masa Orde Baru hingga saat ini bila dibandingkan dengan masa Hindia Belanda dan Orde Lama. “Pada masa Hindia Belanda dan Orde Lama,para guru,penilik sekolah masih menganggap siswa sebagai anak didik dan mereka pun bertanggung jawab secara penuh. Tapi pada masa Orde Baru hal ini tidak terlihat dan malahan terjadi kerusakan sistem secara terus menerus” katanya.
Pengamatan Widiyanto juga dibenarkan oleh Anita Lie. Menurut pakar pendidikan yang juga aktivis Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), pada masa Orde Baru siswa tidak lagi diperlakukan sebagai anak didik, melainkan sebagai obyek. “Negara dan sistem pendidikan nasional sekarang ini memandang anak didik sebagai bagian dari hitungan angka. Sekolah juga menghitung anak didik sebagai bagian dari komponen yang ada hubungannya dengan uang sumbangan masuk dan iuran pendidikan lainnya” tuturnya.
Kenyataan ini diperkuat oleh adanya permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan nasional, yaitu adanya kesenjangan antar lembaga pendidikan seiring dengan terjadinya proses globalisasi. Munculnya permasalahan ini sebagai akibat dari kurangnya perhatian pemerintah dalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan pendidikan. Lebih parah dari itu, pemerintah juga tidak mampu membuat stanndar apa yang dinamakan dengan pendidikan bermutu tinggi. Maka tak mengherankan banyak lembaga-lembaga pendidikan swasta yang mengadopsi model pendidikan luar, dan tentunya dengan bayaran tinggi yang tidak mampu dimiliki oleh masyarakat Indonesia kebanyakan. Sehingga masyarakat Indonesia dalam memilih pendidikan tidak lagi ditentukan oleh adanya kebutuhan untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan tingkat intelegensi anak, melainkan ditentukan oleh seberapa kuat orang tuanya mampu membayar uang sekolah.
Revitalisasi Kurikulum dalam Pendidikan Multikultural
Dalam mengkonsepkan pendidikan multikultural di Indonesia, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah model pendidikan multikultural seperti apa yang cocok dengan karakter bangsa kita ini yang banyak menjungjung tinggi nilai-nilai ketimuran.
Menurut Anita Lie, model pendidikan multikultural yang sesuai di Indonesia adalah pendidikan multikultural yang berlandaskan dengan nilai-nilai pancasila dan nilai-nilai kebangsaan. Oleh sebab itu pendidikan multikultural yang akan dikembangkan hendaknya bertujuan mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas. “Manusia yang cerdas di sini tidak saja cerdik pandai dan mempunyai kemampuan menguasai ilmu pengetahuan serta menyelesaikan masalah, melainkan juga bermoral, memiliki sikap demokratis, dan memiliki sikap empati terhadap orang lain”tuturnya.
Konsepsi mengenai tujuan pengembangan pendidikan multikultural yang diutarakan oleh Anita Lie, juga memiliki kesamaan dengan apa yang diutarakan oleh Prof. Drs. Arif Rahman, MP.d. Menurut ketua harian Komnas Indonesia untuk Unesco, pendidikan yang bermutu tinggi adalah pendidikan yang memenuhi kelima indikator. Kelima indikator tersebut adalah berkepribadian matang, berilmu mutakhir, berprestasi, punya rasa kebangsaan, berwawasan global.
Model pendidikan multikultural yang dikembangkan dalam pendidikan nasional, menurut Anita Lie tidak perlu dibuatkan kurikulum baru yang terpisah dengan yang sudah ada. Yang perlu dilakukan adalah upaya merevitalisasi kurikulum yang sudah ada berikut dengan modifikasi model-model pembelajaran.
Meminjam istilah yang digunakan Arif Rahman, kurikulum pendidikan kita sedang mencari formatnya. Dalam artian, kurikulum kita sekarang ini sedang mencari bentuknya yang paling baik, sehingga dengan kurikulum tersebut tenaga pendidik yang ada mampu mengeksplorasi kemampuan dan pikirannya dalam proses belajar mengajar. Selain itu kurikulum yang sedang mencari bentuknya tersebut, bisa melahirkan generasi berkualitas yang mencerdaskan dan memiliki jiwa kebangsaan yang tinggi.
Kelemahan-kelemahan kurikulum sekarang ini dapat dilihat dalam model pengajaran beberapa mata pelajaran yang diajarkan di lembaga pendidikan, dalam pendidikan agama misalnya. Pendidikan agama yang diberikan di lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.
Selain itu pendidikan agama juga masih diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya, seakan-akan hanya agamanya sendirilah yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas. Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat pendidikan multikultural, dan akan memperlemah persatuan bangsa.
Selain dalam pendidikan agama, sistem pendidikan nasional yang sekarang ini juga memiliki kelemahan dalam pendidikan kewiraan, kepramukaan dan kewarganegaraan. Ketiganya seharusnya ikut ambil bagian dalam pembentukan masyarakat multicultural dan memperkuat wawasan kebangsaan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan kewiraan sudah mulai kehilangan dimensi multikulturalnya, sebagai akibat krisis militerisme dalam kehidupan politik bangsa. Akibatnya tidak ada lagi minat dan semangat di kalangan mahasiswa untuk mempelajarinya, bahkan telah kehilangan aktualitasnya. Sementara pendidikan kepramukaan dan kewarganegaraan menjadi antirealitas karena tidak mengalami aktualisasi hidup di tengah realitas perubahan sosial yang kompleks dalam tekanan budaya global yang cenderung materialistik dan hedonistik.
Oleh sebab itu, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional berikut dengan kurikulumnya adalah dengan menerapkan nilai—nilai pendidikan multikultural. Hal ini sangat penting dilakukan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang belajar. Sekolah bukan saja tempat bagi siswa untuk belajar melainkan sekolah justru ikut berkembang, karena sekolah juga belajar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Karena itu, sekolah perlu mengembangkan diri dan belajar tiada berkesudahan. (Lq/MBM)

Relasi Paradoksal Islam-Pancasila

Dalam konstelasi sejarah politik Indonesia, islam dan pancasila memiliki hubungan yang paradoksal. Di satu sisi, pancasila dianggap sesuai dan mengakomodasi nilai-nilai islam. Tapi di sisi lain, pancasila juga dianggap bertentangan dengan nilai-nilai syariat.

Pada tanggal 1 Juni 1945, di depan sidang Dokuritzu Zunbi Cosakai (BPUPKI), Soekarno melontarkan gagasan tentang pentingnya melahirkan sebuah falsafah kebangsaan. Kebangsaan dalam konteks pemikiran Soekarno adalah semangat masyarakat yang dilandasi oleh kelima dasar yang kemudian disebut oleh Soekarno sebagai Pancasila. Kebangsaan Indonesia atau nasionalisme, Perikemanusiaan atau internasionalisme, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan Social dan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah poin-poin pemikiran yang ditawarkan Soekarno muda dihadapan sidang. Sebelum Soekarno bersaksi di hadapan sidang BPUPKI tentang perlunya pembentukan ideologi kebangsaan, Mohamad Yamin juga pernah melakukan hal yang sama. Kepada rekan-rekannya sesame founding fathers dia pernah menawarkan konsep ideologi kebangsaan yang disebutnya sebagai Lima Dasar pada tanggal 29 Mei 1945. Selain Yamin, Soepomo pun pada tanggal 31 Mei 1945 menawarkan hal yang sama, hal yang dia namakan dengan Panca Dharma.
Gagasan Soekarno tentang perlunya pembentukan ideologi dalam kehidupan berbangsa mendapat perhatian serius dari para founding fathers lainnya. Maka segera setelah itu dibentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Agus alim, Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Ahmad Subardjo, Mohammad Yamin. Tugas panitia ini adalah merumuskan kembali konsep kebangsaan yang pertama kali dilontarkan oleh Soekarno.
Perdebatan demi perdebatan mereka lalui. Segala konsep ideologi dipertentangkan untuk mencari dasar apa yang sesuai dengan jiwa masyarakat Indonesia (zeitsgeist). Akhirnya pada tanggal 22 juni 1945, Panitia Sembilan ini menghasilkan rumusan yang kemudian oleh M. Yamin disebut sebagai Piagam Jakarta. Dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) termaktub lima dasar yang menjadi landasan kehidupan berbangsa. Sebenarnya, tidak ada perbedaan antara lima dasar yang dikonsepkan oleh Panitia Sembilan dengan apa yang dipikirkan oleh Soekarno. Dengan kata lain, Piagam Jakarta merupakan bentuk pengejawantahan nilai-nilai pikiran Soekarno. Tapi dalam piagam ini ada penambahan tujuh kata yaitu Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya—sebuah frase yang akhirnya menjadi perdebatan panjang di antara founding fathers.
Sukarno berhasil merumuskan Indonesia (yang plural itu) dalam prinsip kebangsaan yang mengatasi kepentingan primordial. Sukarno muda yang begitu kaya pemikiran dan pengalaman dalam pergerakan Indonesia merdeka sejak semula sudah bergulat dengan masalah prinsipil eksistensi Indonesia merdeka. Tahun 1926, Sukarno sudah menggumuli heteroginitas pemikiran politik "Indonesia" dan mengajukan pemikiran agar kaum Nasionalis, Marxis, dan Agama (Islam) bekerjasama dan bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sintesa (atau sinkritisisasi) kekuatan-kekuatan dalam bangsa ini seharusnya menjadi basis bagi eksistensi bangsa Indonesia, demikian gagasan Sukarno. Jika hanya satu kekuatan (primordial atau ideologi) tertentu yang diadopsi sebagai basis, maka Indonesia menjadi tidak utuh.
Pancasila adalah kristalisasi pemikiran Sukarno mengenai konsep kebangsaan Indonesia. Selain itu pancasila juga jawaban terhadap kebutuhan bangsa Indonesia sebbagai sebuah bangsa baru dengan latar belakang yang sangat plural. Makanya dalam sidang BPUPKI, Sukarno memprovokasi peserta sidang dengan pertanyaan apa dasar negara atau disebutnya sebagai philosofische grondslag.
Penambahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta merupakan bentuk wujud partisifasi politik umat Islam terhadap ideology pancasila. kalangan Islam politik waktu itu merasa, umat islam memiliki kontribusi yang besar dalam pembentukan negara dan bangsa. Maka, mereka memandang perlu adanya peneguhan dalam konstitusi negara.
Reaksi atas penambahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, mendapat reaksi keras dari masyarakat Indonesia bagian timur. Mereka memandang, hal itu sebagai bentuk diskriminasi politik yang tidak lajim. Malahan, menurut Asvi Warman Adam, kelompok ini pun akan mengancam memisahkan diri dari wilayah Indonesia apabila ketujuh kata itu tidak dihapuskan. Adalah A.A Maramis,--seorang tokoh politik Indonesia Timur dari kalangan Kristen—menghubungi Bung Hatta agar meninjau kembali penambahan tujuh frase tersebut. A.A. Maramis mewakili kelompok Indonesia Timur berharap kepada Hatta agar membujuk kelompok islam politik meralat ketujuh frase tersebut.
Kepada Hatta, Maramis berkisah bahwa Indonesia tidak didirikan oleh satu kelompok, satu ras, satu kekuatan politik dan satu agama. Indonesia, yang sekarang berdiri adalah bangsa yang dihasilkan dari proses sinergis antar berbagai golongan. Sebagai seorang negawaran, Hatta sangat memahami argumentasi yang diutarakan Maramis. Selain karena Indonesia merupakan bangsa yang plural, baik secara budaya, politik dan sosial, kalangan Kristen pun memiliki kontribusi dalam pembentukan bangsa. Hatta pun berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan dan Kasman Singodimejo untuk menghapus ketujuh kata tersebut. Atas saran Ki Bagus Hadikusumo, ketujuh frase tersebut diganti dengan frase Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka setelah itu, para founding fathers bersepakat untuk menghapus ketujuh frasa yang dirasa memberatkan bagi kelompok lain. Dan sejak saat itu founding fathers yang berbeda aliran politik, agama, rasa bersepakat untuk menerima pancasila sebagai konsensus bersama.
Walau pun pancasila sudah diterima sebagai konsensus bersama dalam kehidupan berbangsa, namun pada kenyataannya masih ada gerakan yang mencoba mempertentangkan kembali antara pancasila dengan ideologi lainnya. Ini dapat dilihat pada waktu pemilu 1955. Pada saat itu ada pertentangan terjadi antara kubu islam yang terakomodasi lewat partai-partai berlabel islam seperti Masyumi dengan kubu sekuler yang terwadahi dalam partai-partai seperti PNI, Partai Indonesia Raya. Pertentangan ini berjalan sangat alot sampai berakhirnya masa pemerintahan Orde Lama.
Belajar dari pengalaman Orde Lama yang banyak berkutat pada pertentangan ideologis, Soeharto sebagai penarik gerbong Orde Baru tak mau pengalaman politik ini terulang kembali. Maka segera ia pun memberlakukan deideiologisasi--pancasila dijadikan sebagai satu-satunya asas bagi kekuatan organisasi sosial-politik. Dengan kata lain, Soeharto menghendaki pancasila sebagai asas tunggal. Selain itu, sistem kepartaian yang gemuk mengalami penyederhanaan dengan hanya memperbolehkan tiga partai yaitu Golkar, PPP dan PDI.
Walaupun Soeharto sudah melakukan pemberlakukan asas tunggal (astung) terhadap partai politik ormas-ormas, da segala sektor kehidupann berbangsa dan bernegara, tetapi pada kenyataannya tidak meleburkan kekuatan islam politik, kekuatan nasionalis, dan kekuatan lainnya menjadi satu kata. Mereka yang tidak menerima pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara memilih menjelma dalam bentuk-bentuk yang pada waktu itu tidak terdeteksi oleh negara. Dalam pengajian-pengajian terbatas, gerakan mahasiswa islam radikal, atau pun dalam rapat-rapat politik mereka menyetakan bahwa islam harus menjadi dasar ideologi bangsa yang baru merdeka ini. Sehingga keadaan ini membuat stagnan politik bangsa Indonesia.
Melatakan Sakralisasi
Salah seorang intelektual muda yang prihatin dengan kondisi ini adalah Nurcholish Madjid. Baginya perdebatan bangsa ini soal ideologi yang akan digunakan sebagai dasar negara apakah islam ataukah pancasila adalah sesuatu yang berlarut. Perdebatan tentang itu seharusnya sudah tuntas ketika para founding fathers menyusun agenda kebangsaan.
Untuk memecahkan stagnansi politik kebangsaan, pada waktu itu Nurcholish Madhid—seorang tokoh yang diidentikan dengan Natsir—pada tahun 1970-an menawarkan konsep perlunya sekularisme politik dengan rumusan, Islam Yes, Partai Islam No. Cak Nur—demikian penarik gerbong ini dipanggil, menghendaki umat Islam sebagai kelompok mayoritas di Indonesia mampu membedakan mana yang saral dan mana pula yang profan. Dengan kata lain, Nurcholish Madjid menghendaki masyarakat Indonesia mampu melihat yang duniawi sebagai sesuatu yang profan dan mengukhrowikan yang memang bernilai suci seperti agama.
Akan tetapi, seruannya itu banyak ditolak oleh orang islam sendiri yang menyamakan sekularisme politik dengan sekularisme total. Kemudian di tahun 1980-an KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga mengemukakan perlunya sekularisme politik sebagai gerakan kultural. Tetapi, rupanya gagasannya itu tidak mendapat tanggapan secara luas. Mungkin karena dia sendiri tidak konsisten dengan gerakan kulturalnya dan bermain juga di tingkat struktur, atau karena seruannya sudah menjadi bagian dari ideologi NU sejak dia menjadi Ketua Umum PBNU-setidaknya begitulah klaim Gus Dur. Kemudian tahun 1995 keluar gagasan "high politics" dari Amien Rais, dengan maksud bahwa keterlibatan politik suatu agama (Islam) itu tidak sepatutnya pada politik praktis sehari-hari.
Pertentangan politik antara kubu nasionalis dengan kubu islam tidak pernah surut dalam kontelasi politik bangsa. Menurut Kuntowijoyo, hal ini diakibatkan karena sejarah yang kita miliki adalah sejarah yang terputus (disrupted history). Kalau saja sejarah kita tidak terputus mungkin sekarang pertentangan antara sekularisme politik dan Islam itu sudah menemukan solusi politik dan ideologinya. Pertentangan antar dua kekuatan ini kembali mengemuka pada pemilu 1999 dan 2004. Partai-partai yang berlandaskan nasionalisme harus bertarung untuk merebut konstituen dengan partai-partai yang menjual islam sebagai dasar ideologinya. Malahan dalam pemilu 1999, wacana tentang tujuh frasa yang hilang kembali mengemuka. Kalangan islam politik merasa perlu kembali meninjau realitas politik tersebut. Alhasil perjalanan politik bangsa kita masih terus berkutat pada pertentangan tentang ideologi apa yang sesuai dengan falsafah bangsa ini. Sejarah politik kita adalah sejarah treadmill, sejarah yang seakan-akan berlari kencang namun tidak pernah kemana-mana—tetap berlari di tempat.
Common Denominator
Lantas sampai kapan perdebatan mengenai ideologi bangsa ini akan berakhir? Dan sampai kapan relasi paradoksal antara pancasila-Islam tidak secara terus menerus akan disulut. Asvi Warman Adam, memberi solusi yang cukup artikulatif. Menurut sejarawan yang banyak membongkar mitos-mitos sejarah kontemporer Indonesia, seperti sejarah G 30/S PKI, pancasila tidak akan dipertentangkan lagi kalau ada sosialisasi yang tepat, yang intensif yang dilakukan kembali dalam masyarakat Indonesia. Tentang makna pancasila, kegunaan pancasila dan penjabaran pancasila untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan itu perlu dilakukan lebih efektif, tepat dengan demikian tidak akan ada lagi pertentangan di masa yang akan datang karena sudah ada kesepahaman tentang itu. “Kalau pancasila itu disalahmengerti terus ya akan selalu di pertentangkan. Saya juga melihat bahwa krisis yang berkepanjangan itu akan selalu membuat orang untuk lari kepada ideologi yang lebih ekstrim, yang menolak ideologi lain” katanya kepada Baitul Muslimin ketika ditemui di sela-sela kesibukannya.
Lebih jauh Asvi Warman Adam juga melihat ada sesuatu yang salah dalam sosialisasi pancasila kepada masyarakat selama ini. Penataran-penataran yang banyak dilakukan oleh pemerintah selama ini dinilai banyak memanipulasi penafsiran pancasila untuk kepentingan kekuasaan. “Menurut hemat saya perlu adanya penataran-penataran yang tidak salah kaprah. Kalau dulu pada masa Orde Baru ada penataran-penataran pancasila yang salah kaprah, karena pancasila itu direduksi menjadi 20 butir atau sekian butir yang cocok dengan pancasila. Itu yang menyebabkan pancasila menjadi sangat terkungkung, sangat terbatas. Menurut hemat saya, diskusi atau dialog itu harus kembali kepada penjabaranan dari sila-sila yang ada. Dan itu kalau diajarkan secara benar dan tepat mulai dari SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi, saya kira pertentangan atau dikotomi itu tidak perlu lagi muncul” paparnya.
Solusi yang ditawarkan oleh sejarawan Indonesia ini, agaknya penting untuk dilakukan kembali guna menemukan komitmen kebangsaan. Lebih penting dari itu adalah tiadanya sikap saling mengkonfrontir antara Islam dengan pancasila. Pancasila sebagai ideologi bangsa sebetulnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, juga pancasila bukanlah Islam itu sendiri. Pancasila adalah common denominator (titik temu) bagi berbagai pemikiran. Tidak satu pun dari kelima silanya bertentangan dengan Islam. Bahkan dapat dikatakan bahwa pancasila adalah obyektivikasi dari Islam. Agama-agama lain sudah pasti menemukan dirinya dalam rumusan pancasila. Aliran-aliran lain, seperti Marhaenisme, Sosialisme, Liberalisme, dan Verzorgingsstaat (Welfare State, Negara Jaminan Sosial) tertampung di dalamnya.
Titik persamaan (kalimah sawa) antara Islam dengan pancasila terdapat dalam sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketika Soekarno berpidato pada tanggal 1 Juni 1945, memberikan urutan pertamanya adalah untuk kebangsaan dan nasionalisme. Tapi kemudian Soekarno, mendapatkan masukan dari founding fathers yang lainnya sehingga rumusan pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa itu diletakan pada sila pertama. Bagi Asvi Warman Adam, hal ini merupakan bentuk penghargaan yang besar bagi kalangan islam politik. Selain itu, sila pertama ini menjadi dasar bagi tujuan-tujuan setelahnya seperti kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “Saya memandang bahwa tidak ada sila dalam pancasila yang bertentangan dengan ajaran agama Islam”. Asvi juga menilai bahwa pancasila juga dianggap masih relevan karena di dalamnya terkandung juga tujuan yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, selama itu belum dicapai maka pancasila masih dianggap relevan.
Sebagai ideologi terbuka, pancasila membuka diri pada ide-ide yang dikembangkan oleh berbagai ideologi. Kehadiran ide-ide itu justru menyuburkannya. Ia cukup punya rambu-rambu untuk tidak terjebak dalam salah satu ideologi. Sejarah pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus. Di masa Orde lama keterbukaan itu menyebabkan diterimanya komunisme yang ateis, dan di masa Orde baru diterimanya otoritarianisme yang mengingkari kedaulatan rakyat. Untuk menghindari kemungkinan keterjebakan itu, sila-sila dalam pancasila harus dibaca sebagai kata kerja aktif.
Menurut Asvi sampai saat ini, pancasila masih relevan untuk dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi Asvi pun memberikan beberapa catatan: Pertama, itu dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa. Tapi kemudian ini juga jangan dijadikan ideologi yang reaktif, yang pasif melainkan menjadi ideologi yang dinamis. Dinamis, misalkan kalau kita kaitkan dengan konsep keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia itu harus kita wujudkan. Selain itu, hendaknya diskusi-diskusi mengenai pancasila seharusnya memberikan aplikasi atau penjabaran mengenai sila-sila itu lebih mengena dalam mengatasi permasalahan yang tengah dihadapi bangsa ini.***

Sejarah Condet


Sejarah Asal Mula Condet

Menurut Ridwan Saidi, daerah Condet merupakan tempat di mana negara Salaknegara berada. Salakanegara adalah kerajaan pertama yang berdiri di tanah Jawa pada tahun 130 Masehi. Bahkan jika ditengok kebelakang, berdasarkan temuan arkeologis, daerah Condet telah dihuni manusia sejak jaman Neolitikhum (3000-3500 tahun lalu). Ridwan kemudian mengaitkan dengan nama-nama bermakna sejarah di Condet seperti Batu Ampar yang berarti batu tempat meletakan sesaji dan Bale Kambang yang merupakan pesanggrahan para raja jaman dulu. Ada juga beberapa pendapat mengenai asal mula nama buah salak, konon nama itu juga berasal dari kata Salaknegara.[1]
Lebih lanjut Ridwan Saidi mengatakan bahwa Jakarta ini sudah dihuni dan didatangi oleh masyarakat jauh sebelum kerajaan Tarumanegara berdiri yaitu pada abad ke-5 Masehi.[2] Untuk daerah Condet sendiri, Ridwan Saidi memiliki kesimpulan bahwa daerah ini berasal dari kata Ci Ondet. Ci berarti air atau kali seperti nama kali lain, Ciliwung, Citarum, Cisadane dan sebagainya. Sementara Ondet atau Odeh adalah nama pohon sejenis buni. Pada masa dulu di sepanjang aliran kali Ciliwung yang lewat kesana banyak ditemukan pohon Ondet, sehingga disebut Condet.[3]
Namun walau pun demikian, ada beberapa catatan tertulis penting yang berkaitan dengan daerah yang dahulu dikenal sebagai penghasil salak ini. Data tertulis pertama yang menyinggung Condet adalah catatan perjalanan Abraham van Riebeek, yang pada waktu itu menjabat sebagai direktur jenderal VOC (sebelum menjadi gubernur jenderal). Untuk menempuh ke kantor pusat kegiatan VOC, pada tanggal 24 September 1709, Abraham van Riebeek beserta rombongannya harus berjalan kaki melewati anak sungai Ci Ondet. Jarak antara tempat tinggal Abraham van Riebeek-kantor pusat VOC mencapai 15 km.[4] Keterangan kedua terdapat dalam surat wasiat Pangeran Purbaya — salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Sebelum dibuang oleh Belanda pada April 1716, pangeran menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak-anak dan istrinya yang ditinggalkan.[5]
Keterangan ketiga, adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh pimpinan Kompeni di Batavia pada tanggal 8 Juni 1753. surat keputusan ini berisikan maklumat tentang penjualan tanah di daerah Condet seluas 816 morgen (52.530 ha) yang pada waktu itu dibeli dengan harga 800 ringgit kepada Frederik Willem Freijer. Daerah Condet sendiri berada pada tanah yang dijual tersebut, yang kemudian dimiliki oleh Frederik Willem Freijer seorang pengusaha swasta Belanda. Kawasan ini pun pada akhirnya dikenal sebagai bagian dari tanah partikulir Tandjoeng Oost (Tanjung Timur), atau Groeneveld.[6]
Walau pun demikian, tidak ada data pasti sejak kapan atau bagaimana ceritanya Condet menjadi pemukiman orang Betawi. Namun daerah ini menyimpan sejarah menarik, salah satunya kisah Haji Entong Gendut. Haji Entong Gendut adalah Alim Ulama sekaligus pendekar yang disegani di Condet. Menurut Ran Ramelan, Haji Entong Gendut marah atas kesewenang-wenangan Kompeni dalam memungut pajak atau blasting kepada rakyat Condet. [7]Akhirnya, pada 5 April 1916 Haji Entong Gendut memimpin pemuda-pemuda Condet menyerbu sebuah Gedung bernama Villa Nova atau Groeneveld milik tuan tanah Belanda. Setelah berhasil memberi pelajaran kepada Kompeni, dimulailah babak heroik perlawanan masyarakat Condet pimpinan Haji Entong Gendut versus Kompeni. Menurut cerita, Haji Entong Gendut akhirnya tewas ditembak Kompeni lalu mayatnya dibuang ke laut. [8]
Gedung Villa Nova atau Groeneveld yang diserang oleh Haji Entong Gendut beserta pemuda Condet itu adalah gedung satu-satunya dan terbesar di daerah Condet ketika itu. Keberadaan gedung tersebut membawa ciri khas bagi daerah tersebut sehingga banyak masyarakat pada waktu itu memberi nama daerah tersebut dengan julukan sebagai Kampung Gedong. Dan penamaan ini masih bertahan hingga sekarang, terbukti dengan adanya kampung Gedong di wilayah Condet.
Mengenai sejarah gedung Villa Nova atau Groeneveld yang menjadi asal mula terbentukya kampung Gedong memiliki kisahnya tersendiri. Gedung ini dibangun oleh Vincent Riemsdijk, anggota Dewan Hindia, sebagai perkebunan dan sekaligus peristirahatan. Setelah kematiannya, putranya Daniel van Riemsdijk, seorang petani andal, benar-benar mengurus perkebunan Tanjung Timur dan mengelolanya dengan baik. Pada waktu itu, 6.000 ekor sapi digembalakan di perkebunan ini, tempat yang sekarang berdiri gedung-gedung megah dan jalan raya dari Tanjung Timur ke Terminal Kampung Rambutan.[9]
Di gedung ini pada 1749 pernah berlangsung pertemuan antara Gubernur Jenderal Von Imhoff dan Ratu Syarifah Fatimah, wali sultan Banten. Syarifah, wanita terdidik dan cerdas, pada 1720 menjadi istri Pangeran Mahkota Banten, Zainul Arifin. Ia sangat berpengaruh terhadap suaminya ketika menjadi sultan Banten (1733). Tapi, Syarifah sendiri meninggal dengan merana karena dibuang ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu, akibat pemberontakan Kyai Tapa (1750). Ia ditangkap akibat ambisinya untuk mengangkat Syarif Abdullah, yang menikah dengan keponakannya, untuk dijadikan pangeran mahkota Kesultanan Banten.
Gedung yang juga dikenal dengan Villa Nova itu telah beberapa kali berganti pemilik. Menurut Ran Ramelan tiap penggantian tuan tanah ini, diadakan peraturan baru yang memberatkan rakyat Condet. Terhadap tiap pemuda Condet yang telah menginjak dewasa dikeluarkan kompenian atau pajak kepala sebesar 25 sen (nilainya kira-kira 10 liter beras). Karena banyak petani yang tidak sanggup membayar blasting (pajak) yang sangat memberatkan itu, tuan tanah sering membawa petani yang tak sanggup membayar ke landraad (pengadilan). Dan tuan tanah di Condet sering mengeksploitasi masyarakat sehingga akibatnya banyak petani yang bangkrut, rumahnya dirusak, atau tak jarang yang dibakar. Penduduk yang belum membayar blasting hasil sawah dan kebunnya tidak boleh dipanen.[10]
Tuan tanah pertama dari kawasan itu adalah Pieter van de Velde asal Amersfoort, yang pada pertengahan abad ke-18 berhasil memupuk kekayaan berkat berbagai kedudukannya yang selalu menguntungkan. Setelah peristiwa pemberontakan Cina pada tahun 1740, dia berhasil mengusai tanah – tanah Kapten Ni Hu-Kong, yang terletak di selatan Meester Cornelis yang sekarang dikenal sebagai Jatinegara sebelah timur sungai Ciliwung. Kemudian di tambah dengan tanah – tanah lainnya yang di belinya sekitar tahun 1750, maka terbentuklah Tanah Partikelir Tanjoeng Oost. Di situ ia membangun gedung tersebut selesai dibangun.
Pemilik kedua adalah Adrian Jubels. Setelah ia meninggal pada tahun 1763, Tanah tanjung Oost dibeli oleh Jacobus Johannes Craan, yang terkenal dengan seleranya yang tinggi. Pemilik baru itu mendandani gedung peristirahatan dengan dekorasi berlanggam Lodewijk XV, ditambah dengan hiasan – hiasan yang bersuasana Cina. Sampai terbakar pada tahun 1985 sebagian dari ukiran – ukiran penghias gedung itu masih dapat disaksikan.
Setelah Craan meninggal, Tanjoeng Oost dibeli oleh menantunya Willem Vincent Helvetius van Riemsdjik, putra Gubernur Jendral Jeremies van Riemsdjik (1775 – 1777). Sampai pecahnya Perang Dunia Kedua, gedung Groeneveld dikuasai turun- temurun oleh para ahli warisnya, keturunan Vincent Helvetius van Riemsdjik. Willem Vincent Helvetius sendiri sejak muda sudah menduduki jabatan yang menguntungkan, antara lain pada usia 17 tahun sudah menjabat sebagai administrator Pulau Onrust, jabatan yang menjadi incaran banyak orang, karena konon sangat “basah” banyak memberi kesempatan untuk memupuk kekayaan. Kedudukan ayahnya sebagai gubernur Jenderal dimanfaatkan dengan sangat baik, sehingga kekayaannya makin berkembang. Pada tahun sembilanpuluhan abad ke-18, tanah – tanah miliknya tersebar antara lain di Tanahabang, Cibinong, Cimanggis, Ciampea, Cibungbulan, Sadeng, dan dengan sendirinya Tandjoeng Oost atau Tanjung Timur.
Tandjoeng Oost atau Tanjung Timur mengalami perkembangan yang sangat pesat pada waktu dikuasai oleh Daniel Cornelius Helvetius, yang berusaha menggalakkan pertanian dan peternakan. Setelah ia meninggal pada tahun 1860, Groeneveld menjadi milik putrinya yang bernama, Dina Cornelia, yang menikah dengan Tjalling Ament, asal Kota Dokkum, Belanda Utara. Ament melanjutkan usaha mertuanya, meningkatkan usaha pertanian dan peternakan. Pada pertengahan abad ke-19, di kawasan TanjungTimur dipelihara lebih dari 6000 ekor sapi. Produksi susunya sangat terkenal di Batavia. Sampai tahun 1942 Groeneveld turun – temurun dihuni keturunan Van Riemsdjik, dan kawasan itu sampai sekarang disebut Kampung Gedong.[11]
Sampai sekarang suku Betawi merupakan salah satu suku yang berada di Indonesia, dan Betawi Condet hanyalah bagian terkecil yang tersisa dari keberadaan suku Betawi tersebut. Secara umum suku Betawi merupakan suku-bangsa yang terbentuk dari proses asimilasi antara penduduk pribumi dengan berbagai unsur dari luar yang bercampur dalam waktu yang lama. Lance Castle menggambarkan kondisi ini dengan istilah melting pot.
Menurut Melalatoa, keberadaan suku Betawi berikut dengan Betawi Condetnya dapat dilihat dari pengakuannya dan budaya-budaya tertentu, misalnya bahasa, dialek, kesenian, pakaian, makanan, sistem keyakinan dan lain-lain. Selain itu adanya pandangan-pandangan yang dapat melahirkan identitas tertentu sebagai suatu kelompok yang disebut sebagai orang Betawi-Condet.[12]
Dalam bidang kesenian, orang Betawi-Condet memiliki bentuk-bentuk kesenian yang khas, yang di dalamnya terkandung unsur-unsur dari berbagai kesenian lain dengan melalui proses akulturasi. Misalnya, seni lenong yang lagu-lagunya terdiri dari campuran lagu Cina dengan Betawi. Demikian juga dalam berbahasa. Bahasa yang digunakan oleh orang Betawi-Condet merupakan bahasa yang sudah bercamputr dengan bahasa lainnya, baik itu secara dialek atau pun kosa kata. Bahasa-bahasa yang banyak berpengaruh terhadap bahasa Betawi-Condet diantaranya adalah bahasa Sunda, Jawa, Melayu, Cina.
Yang lebih penting dari semua itu adalah pandangan hidup yang digunakan oleh orang Betawi-Condet. Masyarakat Betawi-Condet memiliki sistem budaya denga sejumlah nilai dan norma budaya yang menjadi acuan dalam berbagai tindakannya, yaitu:
1. Sikap toleransi yang diwujudkan dengan sikap nyata berupa keramahtamahan.
2. Sederhana, tidak berlebihan dan dengan sabar menerima keadaan serta kemudahan yang diberikan lingkungannya.
3. Memiliki solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya
4. Mengamalkan asas mufakat untuk berbagai proses pengambilan keputusan dalam lingkungan kehidupan kerabat dan lingkungan sosial yang lebih luas.[13]

A. Condet Sebagai Cagar Budaya
Lantas sejak kapan Condet ditetapkan sebagai daerah cagar budaya Betawi? Penetapan Condet sebagai salah satu cagar budaya Betawi pertama kali dilakukan oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1974, dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur No D. IV-1511/e/3/74 tanggal 30 April 1974 tentang Penetapan Condet sebagai Pengembangan Kawasan Budaya Betawi. Kemudian disusul SK Gubernur No D.I-7903/a/30/75 tanggal 18 Desember 1975, gubernur kembali menetapkan Condet sebagai Daerah Buah-buahan. Keputusan itu berisi penetapan kawasan condet seluas 18.228 hektar sebagai Cagar Budaya Betawi.
Alasan dijadikanya Condet sebagai cagar budaya Betawi di Jakarta berawal dari adanya keinginan Pemerintah DKI Jakarta untuk mempertahankan salah satu kantong pertanian di Jakarta Timur.[14]
Untuk menguatkan komitmen pihak pemerintah juga mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain :
1. .Penetapan wilayah Condet yang dikembangkan secara terbatas, mengingat sebagai daerah penghasil buah-buahan.
2. Penetapan mempertahankan wilayah Condet sebagai daerah pertanian buah-buahan.
3. Pengaturan penebangan pohon di wilayah Condet harus seminimal mungkin, dan harus minta izin sebelumnya.
4. Pelarangan untuk melakukan mutasi tanah, merubah tata guna tanah termasuk memusnahkan tanaman khas Condet yaitu salak, duku dan melinjo.
5. Pelarangan untuk mendirikan bangunan yang melebihi ketentuan koefisien dasar bangunan (RDB) sebesar 20 %.
6. Penetapan bahwa tanaman khas Condet seperti duren Sitokong dan duku serta Salak sebagai barang langka yang harus di jaga dari kepunahan.

Selain itu penetapan Condet sebagai salah satu kawasan cagar budaya Betawi di Jakarta juga berlandaskan pada adanya peraturan dari Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang menyebutkan dalam salah satu pasalnya bahwa warisan budaya merupakan komponen lingkungan yang ingin dipertahankan, dijaga dan dilestarikan keberadaannya di samping warisan alam. Yang lebih menguatkan dari semua itu adalah adanya rekomendasi dari badan dunia yang banyak melakukan rekonstruksi pada warisan-warisan budaya dunia yaitu Unesco pada tahun 1975. Dalam rekomendasinya, Unesco meminta kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah guna melindungi kota atau desa yang memiliki nilai-nilai sejarah tinggi termasuk lingkungannya untuk diintegrasikan dalam kehidupan masyarakat sekarang.

Cagar budaya Condet yang dilindungi terdiri dari tiga kelurahan yaitu kelurahan Batu Ampar seluas 255, 025 hektar yang terdiri dari 4 RW dan 39 RT, kelurahan Balekambang seluas 161, 80 hektar yang terdiri dari 3 RW dan 20 RT, dan kelurahan Kampung Tengah seluas 214, 8 hektar yang terdiri dari 5 RW dan 29 RT. Batas-batas wilayah cagar Condet itu sendiri, di sebelah utara berbatasan dengan kelurahan Cililitan, di sebelah timur sebagian besar berbatasan dengan kelurahan Rambutan, sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan Gedong, dan sebelah barat dipisahkan dengan kelurahan Pasar Minggu oleh kali Ciliwung. Tiga kelurahan dalam kawasan Cagar Budaya Betawi-Condet tersebut sebagian besar didominasi oleh adanya lahan atau perkebunan buah-buahan dan termasuk daerah jalur hijau.[15]

Dalam sejarah Betawi, Condet memiliki sejarah yang sangat istimewa. Menurut sejarah, sejak seribu tahun yang lalu Condet sudah banyak dihuni oleh masyarakat yang datang dari berbagai wilayah. Sejarah juga mencatat bahwa wilayah ini pernah menjadi markas bagi prajurit Mataram yang dikirim Sultan Agung untuk menggempur Batavia pada tahun 1628-1829. Ketika serangan tersebut gagal, ke sana pula para prajurit itu bersembunyi dan kemudian beranak pinak. Kampung Balekambang pada waktu itu juga dinyatakan sebagai pemukiman mereka.[16]

Pada tahun 1749 pendatang dari Makasar datang memasuki wilayah ini sebagai buruh perkebunan gula milik tuan tanah Belanda. Mereka bermukim di wilayah kampung Makasar yang kemudian kita kenal sebagai Kelurahan Batuampar. Kemudian satu wilayah yang disebut Kelurahan Karang Tengah juga merupakan pengembangan dari pemukiman pendatang dari Makasar tersebut.[17]

Kawasan Condet juga pernah berada di bawah kekuasaan Keluarga Ament, tuan tanah bangsa Belanda yang pertama kali mengembangkan kebun buah-buahan sampai dengan tahun 1949, yang kemudian menyerahkan kepada para petani di wilayah ini. Sejak saat itu, kebun buah-buahan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Condet dan hingga ke generasi-generasi berikutnya, mereka juga kemudian dikenal sebagai petani buah-buahan.

Berdasar pada kenyataan sejarah ini, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin terdorong untuk kembali melestarikan wilayah Condet. Dengan harapan Condet tidak saja menjadi lokasi pelestarian suku Betawi berikut dengan seni tradisinya, tetapi juga bisa menjadi daerah sentra buah-buahan. Tekad Ali Sadikin untuk melestarikan budaya Betawi diwujudkan dengan berbagai program-program nyata yan diharapkan bisa mendukung. Berbagai sosialisasi mengenai pentingnya melestarikan tradisi budaya, menjaga kawasan hijau di Jakarta, sampai pada adanya perlindungan pada sejumlah bangunan asli Betawi pun dilakukan.

Pada masa kepemimpinan Ali Sadikin ini, kawasan Condet termasuk daerah maju, ada anggaran untuk melestarikan budaya Betawi di Condet. Setiap rumah Betawi diberi dana rehabilitasi dan pemeliharaan, terutama lantai dasar sebesar Rp 30.000 per bulan. Namun, itu hanya berlangsung singkat.

Sepuluh tahun kemudian, seiring dengan adanya pergantian pemerintahan Ali Sadikin yang digantikan oleh Gubernur Soeprapto muncul lagi Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 323 Tahun 1985 tentang Penyusunan Konsep Pelaksanaan Daerah Condet sebagai Daerah Buah-buahan. Setelah itu, terbit lagi Instruksi Gubernur No 19/1986 tentang Status Quo Pengembangan Kawasan Condet. Namun, pengembangan itu berjalan lamban. Bahkan, entitas budaya Betawi mulai memudar. Pada periode ini wacana tentang revitalisasi cagar budaya Betawi di Condet pun tidak lebih hanya sekedar slogan pemerintah provinsi semata. Ini terbukti dengan semakin tidak adanya kejelasan kontiunitas kebijakan sebelumnya yang memberikan dana rehabilitasi dan pemeliharaan kepada warga Condet. Hal ini diperparah lagi dengan tidak adanya kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta mengenai pentingnya mempertahankan situs cagar budaya.[18]

Sekitar tahun 2001, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali memperhatikan perkembangan budaya Betawi, sebagai budaya asli kota Jakarta. Namun sayang perhatian itu tidak ditujukan untuk merevitalisasi budaya Betawi di kawasan Condet, melainkan menetapkan Kelurahan Srengsengsawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan sebagai Perkampungan Budaya Betawi. Kawasan seluas 289 hektar itu ditetapkan melalui Perda No 3/2005 tentang penetapan perkampungan budaya Betawi. Hingga saat ini perkampungan budaya Betawi itu masih menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta.[19]

Perlindungan Cagar Budaya Betawi-Condet hanya memiliki kekuatan di tingkat perda, tetapi pemerintah provinsi sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum untuk melarang warga menjual tanah milik mereka. Sehingga seiring jaman, pertumbuhan kawasan Condet sulit dikendalikan. Rumah-rumah modern, kios, bengkel,warung, restoran, toko, hingga mini market tumbuh berjamur. Kebun dan kawasan hijau berkurang drastis. Akibatnya, tidak terdengar lagi Condet sebagai penghasil duku dan salak.

Kawasan Condet hampir tidak berbeda dengan pemukiman-pemukiman lain. Padat dan hiruk pikuk. Penduduknya pun lebih banyak pendatang ketimbang orang Betawi asli. Sebetulnya kritisnya kawasan ini sudah dideteksi pemprov DKI sejak bertahun-tahun lalu. Sesuai Peraturan Daerah No. 7 tahun 1991,setiap rumah yang dibangun dikawasan khusus seperti Condet, maka bentuk bangunannya harus sesuai dengan ciri khas kawasan. Berhubung sudah terlanjur dan tidak mungkin membuat Cagar Budaya di lokasi yang sama,akhirnya Cagar Budaya Betawi dipindah ke Setu Babakan di Srengseng Sawah, Jagakarsa.

Seiring dengan waktu, makin banyak pendatang masuk ke Condet, termasuk warga keturunan Arab yang hijrah besar-besaran dari daerah Pekojan, Tambora, Jakarta Barat. Alwi Shahab, penulis dan pemerhati sejarah yang juga keturunan Arab, pernah mengatakan, pada tahun 1950-an sekitar 95 persen penduduk Pekojan masih keturunan Arab. Mereka lalu berpindah tempat ke Condet, juga Jatinegara dan Tanah Abang. Kini, di Condet bahkan menjamur tempat penampungan TKI yang dikelola warga keturunan Arab.

Jumlah penduduk Kelurahan Batu Ampar saat ini mencapai 33.582 orang, Kampung Tengah lebih dari 25.000 jiwa, sedangkan penduduk Bale Kambang berjumlah 19.653 jiwa. Bandingkan dengan jumlah penduduk Bale Kambang pada tahun 1976 yang hanya 4.564 jiwa , Batu Ampar 9.262 jiwa, dan Kampung Tengah 8.162 jiwa.

Pada awalnya banyak masyarakat yang optimistis Condet bakal menjadi trade mark Jakarta. Berbatasan dengan bekas terminal bus Cililitan dan Pasar Minggu, Condet salah satu kawasan yang 90% penduduknya asli Betawi. Condet kaya akan kebun berpohon rindang. Udaranya bersih, penuh kicauan burung kakak tua jambul putih, bayan, nuri, dan banyak lagi. Monyet melompat dari pohon ke pohon. Rata-rata orang Condet bertanam buah-buahan, terutama duku dan salak.

Pohon duku di Condet banyak yang sudah berumur puluhan tahun. Saat musim duku tiba, hampir saban malam kaum lelakinya meronda di atas pohon, yang punya dahan liat dan kuat. Mereka berjaga dari codot dan kalong, yang konon hanya takut pada pohon yang "dihinggapi manusia". Condet juga penghasil pisang (terkenal besar dan manis), durian, dan melinjo yang diolah jadi emping. Kabarnya, emping Condet sangat gurih. Kalau di tempat lain, sebelum digecek, melinjo direbus lebih dahulu. Tetapi do di Condet, melinjo tidak direbus, melainkan dinyanya alias digoreng.

Kekhasan Condet juga terlihat dari bahasa Betawi yang mereka gunakan, adat istiadat yang banyak mengambil nilai-nilai Islam, serta bentuk rumah mereka. Rumah asli Condet berlantai tanah, berdinding kayu. Jendelanya dinamai jendela bujang (bertirai batang bambu). Disebut jendela bujang, karena kerap dimanfaatkan bujang untuk mengintip calon istrinya yang dipingit di balik beranda. Serambi muka terbuka, hanya dibatasi pagar kayu setinggi pinggang serta ornamen khas di lisplang. Di belakang beranda ada pangkeng atau kamar tidur.

Di antara tiga kelurahan tadi, Balekambang yang paling kuat memegang tradisi. Mereka sangat fanatik dengan sekolah agama. Untuk mendapat ilmu yang lebih tinggi, tak jarang para pemudanya bertualang ke Suriah atau Mesir. Mereka lebih fasih memainkan gambus dan qasidah. Lenong dan gambang keromong masih dianggap sebagai punye orang luar. Leluhur Balekambang bahkan beranggapan, daerah mereka "terlarang" buat orang asing. Pendatang yang hendak berniaga, harus siap-siap bangkrut.


B. Cagar Budaya Tinggal Cerita

Penetapan Condet sebagai salah satu cagar budaya Betawi di Jakarta oleh Pemerintah Provinsi DKI, ternyata pada akhirnya memberikan implikasi yang dirasa kurang menguntungkan bagi masyarakat Condet sendiri. Warga Condet di Kelurahan Batu Ampar di Kecamatan Kramat Jati meminta status cagar buah dan budaya ditinjau ulang karena dianggap menghalangi pembangunan. Padahal, pertumbuhan penduduk dan permukiman sudah pesat. Masalah ini memang dilematis, di satu sisi ada peraturan yang harus ditaati, tapi di sisi lain ada kebutuhan masyarakat yang mendesak.[20]

Berdasarkan SK Gubernur No D.IV-1V-115/e/3/1974, kawasan ini ditetapkan sebagai wilayah cagar buah-buahan dan budaya Condet. Wilayah cagar ini mencakup tiga kelurahan di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Yakni Kelurahan Batu Ampar, Bale Kambang, dan Kampung Dukuh. SK yang dikeluarkan oleh Gubernur Ali Sadikin itu menetapkan pembangunan Condet seluas 18.000 ha harus dibatasi. Misalnya, dengan menetapkan aturan koefisien dasar bangunan (KDB) hanya 20 persen dari luas tanah. Artinya, lahan yang terbangun maksimal hanya 20 persen. Namun, peraturan itu tidak bisa diterapkan lagi di Condet, khususnya Batu Ampar. Sebab, permukiman berkembang pesat dengan pertumbuhan penduduk tinggi karena derasnya arus pendatang.

Adanya kenyataan desakan dari warga masyarakat Condet agar pemerintah provinsi DKI Jakarta mencabut SK Gubernur yang menetapkan Condet sebagai daerah cagar budaya Betawi sungguh merupakan ironis. Masyarakat menilai bahwa aturan-aturan itu ternyata merampas kekhasan Condet itu sendiri.[21] Salak dan duku yang sejak dulu menjadi hasil alam Condet, tak lagi tersaji di kios-kios buah. Jumlah petaninya tak lagi signifikan, seiring makin sempitnya lahan. Monyet dan berbagai burung langka pun ikut lenyap. Eksploitasi besar-besaran terhadap binatang-binatang itu, ditambah semakin berkurangnya pohon tempat mereka bersarang. Selain itu, daerah Condet juga kehilangan daerah resapan airnya. Kebijakan koefisien dasar bangunan (KDB) 80% dianggap sebagai angin lalu. Melihat Condet kini, tak beda melihat kawasan lain di Jakarta. Penuh bangunan beton nan bergaya, mulai model Spanyol hingga Mediterania.

Adalah kesulitan ekonomi yang membikin tak sedikit warga Condet menjual tanah miliknya. Dan, hal ini bukannya tanpa konsekuensi. Kian sempitnya lahan sekaligus membunuh tradisi yang telah mengakar di masyarakat Condet, yakni pemakaman anggota keluarga di kebun milik keluarga. Modernisasi telah membuat peta ekonomi Condet mengalami banyak perubahan, masyarakat Condet yang puluhan tahun dikenal sebagai petani duku dan salak, sedikit yang berpendidikan tinggi harus menyesuaikan dengan perkembangan ibukota yang semakin pesat kemajuannya.

Warga Condet jaman dulu tidak cukup familiar dengan kehidupan metropolis. Sementara tak cukup tersedia lahan untuk bertahan sebagai masyarakat agraris. Jalan pintas itu pun datang. Di tengah himpitan ekonomi, warga asli Condet memilih melego tanah warisan. Hengkanglah mereka menyebar di Bekasi hingga Tangerang. Hengkangnya para warga Betawi Condet sekaligus membawa pergi kekayaan kuliner khas Betawi seperti pepes ikan lele, pepes ikan pepe, ikan gabus segar, atau goreng jengkol dengan sambel terasi. [22]

Masyarakat Condet tidak peduli dengan adanya peraturan dari pemerintah provinsi DKI Jakarta yang melarang mereka untuk menjual tanah-tanahnya kepada para pendatang. Desakan kebutuhan ekonomi dan kurannya pendidikan membuat mereka harus tersingkir ke wilayah-wilayah seperti Bekasi, Bogor, Depok dan sebagian ke wilayah Karawang.

Oleh sebab itu Pemerintah provinsi DKI Jakarta mengevaluasi penetapan Condet, sebagai kawasan cagar budaya. Keputusan Pemerintah provinsi DKI Jakarta ini pun mendapat dukungan penuh dari warga Condet dan DPRD DKI Jakarta, dengan alasan bahwa kawasan Condet sudah mengalami kegagalan sebagai kawasan cagar budaya.

Sementara SK Gubernur DKI yang tetap berlaku itu membelenggu hakwarga atas kepemilikan tanah. Soalnya, warga tidak bisa secaraoptimal memanfaatkan tanah milik mereka karena berbenturan denganaturan-aturan yang berkaitan dengan penetapan kawasan itu sebagaikawasan cagar budaya.

Gagal menjadikan Condet sebagai cagar budaya, kini datang usulan baru. Pemprov DKI Jakarta diminta menjadikan Condet sebagai cagar sejarah Betawi. Menjadikan Condet sebagai cagar sejarah, menurut Ridwan Saidi, punya dasar kuat. Hal ini berdasar pada adanya temuan arkeologis pada situs Condet mengindidikasi hunian purba, sedikitnya pada periode 3000 tahun SM. Toponim di Condet (Ci ondet) seperti Batualam, Batu Ampar, Bale Kambang, Pangeran, Dermaga, mencerminkan kehidupan masyarakat dan kebudayaan masa lampau. Benda-benda itu banyak terdapat di tepian sungai Ciliwung, di daerah Condet dan Kalibata Pejaten, Jakarta Selatan. Benda-benda ini diduga berasal kira-kira 1000 - 1500 SM.

Untuk lebih memperkuat usulannya kepada Pemprov DKI Jakarta, Ridwan Saidi mencontohkan batu ampar yang kini menjadi nama jalan dan kelurahan di Condet. Batu ampar yang di Tangerang disebut batu ceper adalah batu yang biasanya berukuran minimal 4 x 6 meter. Di atas batu ini sesajen diletakkan. Sangat mungkin batu ampar di Condet masih ada di suatu tempat di kebun penduduk. Bale Kambang, nama kelurahan di Condet, merupakan pesanggrahan raja-raja. Dapat dipastikan sisa bangunannya sudah musnah, tetapi lokasinya masih dapat diperkirakan. Sedangkan batu alam, juga nama jalan di Condet, dalam tradisi kekuasaan purba, adalah tempat melantik raja baru.

Di samping merupakan permukiman tertua di Jawa, Condet yang penduduknya sangat taat menjalankan syariat agama, pernah dikenal sangat heroik melawan penjajah. Pada 1916, rakyat Condet di bawah pimpinan Haji Tong Gendut mengangkat senjata melawan tuan tanah Belanda yang menguasai Cibeureum, Kranggan, dan Cimanggis, di Kabupaten Bogor. Tempat tinggal tuan tanah itu di depan Jalan Raya Condet sekarang ini, yakni di Kampung Gedong. Rumah tuan tanah ini disebut kongsi, yang kini dipakai untuk Kesatrian Polisi Tanjung Timur. Tong Gendut mengumpulkan para pemuda berjihad fi sabilillah melawan tuan tanah yang selalu memeras penduduk.

Tetapi pemberontakan ini dapat digagalkan. Pemberontakan kedua terjadi 1923, tidak menggunakan kekerasan senjata, melainkan dengan melakukan penebangan pohon-pohon besar. Pemberontakan ini berhasil membuat para mandor tuan tanah mundur, karena tidak berani menghadapi massa rakyat.Sejak saat itu, rakyat Condet makin berani melawan Belanda, termasuk menunggak pajak atau blasting. Ini berlangsung hingga tahun 1934, ketika rakyat Condet mengadukan kepada pengadilan mengenai pemerasan yang dilakukan tuan tanah. Rakyat meminta bantuan hukum kepada tokoh-tokoh perjuangan: Mr Sartono, Mr Moh Yamin, Mr Syarifuddin, dan lain-lain. Rakyat Condet akhirnya menang perkara. Tetapi keputusan baru datang setelah pemerintah Federal. Di masa federal ini, Belanda mengambil hati rakyat Condet, dengan menghapuskan tuan tanah.***


Perubahan Sosial dalam Masyarakat Betawi Condet


Perkembangan kota pada umumnya menyebabkan perubahan peruntukan lahan pertanian. Hal ini terjadi sebagai akibat meningkatnya tuntutan kebutuhan fasilitas perumahan, pesatnya pertumbuhan penduduk terutama yang disebabkan oleh urbanisasi, adanya kepentingan pembangunan fungsional lainnya, serta kesempatan pemanfaatan lahan yang rasional. Demikian pula keadaannya dengan kawasan Condet yang terdapat di Jakarta Timur, tidak luput dari pengaruh perkembangan tersebut.

Masyarakat Betawi Condet merupakan suatu kesatuan dalam sistem hubungan sosial yang sangat erat serta memiliki mobilitas yang cukup tinggi. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya dalam masyarakat Condet terjadi pengaruh timbal balik yang cukup signifikan dengan lingkungan hidup serta kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya. Dalam dua dasawarsa terakhir ini kawasan Condet telah mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang cukup pesat sebagai dampak langsung dari proses pembangunan yang berlangsung sejak tahun 1970-an.

Pada awalnya banyak masyarakat Condet yang menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan. Tanah yang luas dan subur yang ditumbuhi oleh beraneka macam pepohonan berbuah memberikan hasil panen yang melimpah. Buah-buahan seperti duku, salak,mangga, nangka dan lain-lain adalah pemandangan yang tidak langka di daerah Condet ini.

Selain menggantungkan kehidupan di sektor hasil perkebunan, masyarakat Condet juga banyak yang terlibat dalam produksi emping. Terdapat sejumlah home industry. Begitu bergairahnya industri ini berkembang hingga kebutuhan melinjo tidak tercukupi. Sebagian harus didatangkan dari Banten. Emping Condet terkenal gurih. Lebih gurih dari emping keluaran daerah lainnya. Karena, emping melinjo daerah lain sebelum digecek terlebih dulu melinjonya direbut. Sedangkan di Condet orang tidak merebusnya, melainkan digoreng dengan pasir sebelum digecek, sehingga rasanya lebih gurih. Lagi pula emping Condet lebih tipis dari emping keluaran tempat lain. Biasanya warga Condet membikin emping lebar-lebar, digoreng dilipat dua.

Sampai saat ini di Jl Condet Raya masih dapat kita jumpai beberapa pedagang emping. Sedangkan salak dan duku Condet sudah sulit ditemui. Di samping emping, ada satu jenis makanan yang boleh dikata asing ditempat lain dan hanya terdapat di Condet, yakni goreng jengkol yang sangat digemari orang. Condet, yang sampai awal 1990-an masih berudara nyaman, juga dikenal masyarakatnya pandai dalam membuat dan mengelola berbagai jenis kue. Pada hari raya Idul Fitri, misalnya, kita akan dapat menikmati dodol Condet yang warnanya kecoklat-coklatan, gurih dan manis. Rata-rata rakyat Condet pandai membuat dodol, makanan khas Betawi. Di samping dodol, kueh terkenal dari Condet adalah geplak. Dibuat dari tepung beras dan kelapa yang diparut.

Gambaran umum lingkungan Condet dewasa ini sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan gambaran di atas. Pertumbuhan dan perkembangan Jakarta yang sangat cepat ikut mengakibatkan pola kehidupan penduduk Betawi Condet, terutama keadaan sosial ekonominya uga berubah. Dari hasil pendataan,[23] masyarakat Betawi Condet yang bekerja di sektor pertanian yaitu 71,1 persen pada tahun 1967, menjadi12,6 persen pada tahun 1980. Jumlah ini semakin mengecil dan hilang pada akhir tahun 1990-an. Banyak penduduk asli yang meninggalkan pekerjaannya sebagai petani buah dan memilih pekerjaan lainnya di luar sektor ini. Mereka terpaksa mengalami kondisi seperti ini, karena adanya kebutuhan.

Perubahan terjadi menunjukkan Condet bukan lagi merupakan daerah pertanian yang masih didominasi oleh kebun buah-buahan, tetapi sudah menjadi suatu kawasan yang tidak banyak berbeda dengan daerah lainnya di dalam kota Jakarta. Yaitu dengan terdapatnya pemukiman yang padat beserta pola etnis penduduk yang beragam yang tidak lagi mnggantungkan kebutuhan hidupnya pada hasil kebunnya, melainkan kebanyakan bekerja di sektor urban.

Pilihan pekerjaan yang mereka lakukan antara lain menjadi buruh, bekerja pada sektor jasa yang tersedia, terutama di pusat kota atau menjadi pedagang. Bagi mereka yang masih memiliki lahan perkebunan cukup besar, pada musim panen dmereka kembali menjadi petani. Pada petani buah dengan pemilikan lahan usaha stani yang terbatas, pilihan pekerjaan lain di sektor pertanian ini menjadi suatu hal yang penting. Dalam menghadapi kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, mau tak mau terdorong hasratnya untuk memilih pekerjaan lain di luar sektor usaha tani demi kelangsungan hidup diri dan keluarganya.

Aspek penting berkenaan dengan soal pemilikan lahan usaha tani masyarakat Betawi Condet setempat beserta pengalihan fungsi lahan, adalah masalah pewarisan. Fungsi pewarisan ini telah dilembagakan dalam pranata budaya setempat. Ketentuan laki-laki memperoleh lahan dua bagian sedangkan perempuan memperoleh satu bagian. Perwujudan pelaksanaan pranata sosial budaya mengenai pewarisan terlihat pada distribusi pemilikan dan luas lahan yang dimiliki masyarakt setempat. Sistem pewarisan yang dianut, secara alamiah ikut memberikan tekanan terhadap lahan usaha tani milik penduduk di kawasan Cagar Budaya Betawi Condet ini. Dengan semakin minimnya areal kepemilikan lahan usaha atani, semakin petani tersebut tidak dapat menggantungkan hidupnya hanya dari lahan buahnya saja.

Banyaknya jumlah lahan berpindah tangan ke tangan pendatanng, juga menyebabkan menurunnya jumlah masyarakat asli Betawi Condet yang tinggal di kawasan ini. Pada tahun 1980 yang ada hanya 36% saja dari jumlah seluruh penduduk. Kondisi ini cukup menunjukkan bahwa penduduk asli Betawi Condet pada saat ini sudah bukan merupakan kaum mayoritas di wilayahnya.

Adanya peralihan kepemilikan lahan dan penggunaan lahan di daerah Condet, tidak saja menyebabkan hak ekonomi masyarakat Betawi Condet berkurang tetapi juga menjadikan mereka tidak sumber-sumber ekonomi pasti. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, masyarakat Betawi Condet beralih ke bidang pekerjaan yang tidak lagi mengandalkan pada hasil-hasil olahan lahan mereka. Tetapi mereka sudah beralih ke pekerjaan yang lebih teknis dan industrial.

Dahulunya mata pencaharian masyarakat Betawi-Condet bisa dibedakan antara mereka yang berdiam di tengah kota dan mereka yang berada di daerah pinggiran kota. Mereka yang berada di tengah kota menunjukan mata pencaharian yang bervariasi, misalnya sebagai pedagang, pegawai pemerintahan, pegawai swasta, buruh, tukang mebel. Sementara itu mereka yang berdiam diri di daerah pinggiran kota biasanya mempunyai mata pencaharian sebagai petani atau pun perkebunan.[24]

Walau pun masyarakat Betawi Condet sudah tidak memiliki lahan pertanian dan sumber-sumber ekonomi pasti di daerahnya, mereka enggan untuk berpindah ke tempat lainnya. Hal ini berbeda dengan citra yang dimiliki oleh suku lainnya di Indonesia yang suka merantau demi mencari sumber-sumber ekonomi yang pasti dan mapan. Salah satu alasan ketidak sukaan orang Betawi Condet merantau adalah karena faktor ekonomi, mereka berfikir untuk bisa keluar daerahnya maka dibutuhkan biaya. Selain itu, masyarakat Betawi Condet pun terikat oleh adat istiadatnya sendiri. Mereka selalu ingin berkumpul dengan sanak keluarga atau kerabatnya. Kepindahan masyarakat Betawi Condet dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya, bisa terjadi karena disebabkan oleh adanya faktor dari luar. Artinya bukan merupakan kemauan sendiri.

Misalnya, kepindahan anggota masyarakat Betawi Condet ke daerah lain dan harus berpisah dengan kerabatnya disebabkan oleh adanya perkawinan dengan suku atau anggota masyarakat di luar masyarakat Betawi Condet. Sangat sedikit atau malah tidak ada masyarakat Betawi Condet yang mau berpindah ke daerah lain karena alasan-alasan pekerjaan, karena mereka lebih senang mengkais rejeki di daerahnya sendiri. Ketidakinginan warga Condet untuk merantau mencari sumber-sumber kehidupan yang lebih menjanjikan, terkadang membuat citra masyarakat Betawi itu sendiri menjadi negatif. Mereka dianggap sebagai masyarakat pemalas, rendah pendidikan, dan tidak mau maju.

Walaupun demikian masyarakat Betawi Condet masih terikat kuat pada tradisionalitas yang berdasarkan pada agama Islam. Ini tercermin dari kesenian yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan, misalnya marhaban dan qasidahan--yaitu seni musik rebana yang digunakan sebagai acara hiburan dalam perkawinan. Demikian juga acara-acara yang berhubungan dengan hari besar Islam seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha atau Mauludan, selalu diperingati dengan meriah. Identifikasi antara Islam dengan Betawi sangatlah identik. Kebudayaan Betawi sebagai sub kultur hampir tidak bisa dipisahkan dengan Islam, mulai seorang anak Betawi lahir hingga dia meninggal dunia, dalam wilayah pergaulan, semuanya tidak bisa dilepaskan dari ajaran-ajaran Islam. Adapun sarana-sarana untuk mendalami dan mengikat diri orang Betawi dengan ke-Islamannya, disimbolkan dengan banyaknya masjid-masjid di wilayah ini.

Dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, misalnya dalam penarikan garis keturunan, mereka mengikuti prinsip bilinieal, artinya menarik garis keturunan kepada pihak ayah dan pihak ibu. Adat menetap nikah sangat tergantung kepada perjanjian kedua pihak sebelum pernikahan berlangsung. Ada pengantin baru yang sesudah nikah menetap di sekitar kediaman kerabat suami (patrilokal) dan ada pula yang menetap disekitar lingkungan kerabat istri (matrilokal). Pada masa lalu, setiap orang tua selalu bercita-cita membuat rumah (ngerumahin) bagi anaknya yang telah menikah. Yang membuat rumah itu mungkin orang tua pihak laki-laki atau orang tua pihak perempuan. Pada saat sudah dibuatkan rumah itulah, pasangan ini berdiri sendiri lepas dari tanggunga jawab orang tua. Di pihak lain orang tua pada umumya cenderung menyandarkan hidup di hari tuanya pada anak perempuan. Mereka merasa anakprempuan sendiri akan ebh telaten mngurus orang tua dari pada menantu perempuan, meskipun mereka tidak membedakan anak laki-laki dn anak perempuan.

Dalam rangka lingkaran hidup individu atau daur hidup, orang betawi mengenal bermacam-macam adat atau upacara, mulai sejak bayi dlam kandungan sampai kepada kematian dan sesudah kematian itu sendiri. Mereka mengenal upacara selamatan ketika jabang bayi tujuh bulan dalam kandungan (nuju bulanin) atau kekeba, uapaca kerik tangan dalam rangka kelahiran , khitanan (penganten sunat) khatam Quran (penganten tamat) adat berpacaran (ngelancong) bagi kaum remaja, upacara perkawinan dn sebagainya. Berikut ini akan diberikan sekadar penjelasan singkat dari adat atau upacara tertentu.

Seperti juga pada beberapa masyarakat lain orang Betawi juga mengadakan upacara ketika seseorang wanita hamil tujuh bulan yang disebut upacara ikekeba atau nuju bulanin (nujuin). Upacara ini diadakan hanya pada kehamilan pertama. Tujuan upacara ini adalah mensyukuri nikamat Tuhan , memohon keselamatan, berisi harapan agar anak yang akan lahir itu menjadi anak yang soleh , berbudi luhurpatuh pada orang tua, danupara ini semacam pemberitahuan kepada masyarakat lingkungan nya. Itulah sebabnya dalam upacara ini dibaca kitab suci Al Quran, khususnya surat Yusuf. Isi surat ini menggambarkan ketampanan paras nabi Yusuf, keluhuran usi akhlaknya, kepatuhannya pada orang tua. Lalu terselip harapan semoga anak yang akan lahir ini mendekati sifat nabi itu.

Dalam kehidupan sehari-hari yang yang berprilaku tak senonoh sering disebut kaya engga dikebain. Dalam rangka upacara ini masyarakat Betawi ingin menonjolkan nilai-nilai tahu bersyukur kepada tuhan, sholeh, budi luur dan taat pada orang tua. Setelah kelahran bayi antara lain ada upacara kerik tangan. Upacara ini berupa serah terima tugas perawatan bayi dari dukun bayi kepada keluarga yang ditolong dukun itu. Intinya merupakan ungkapan rasa teri kasih dari keluarga itu kepada sang adukun, dan dukun sendiri mengisyaratkan bahwa ia melakukan pekerjaan itu dengan penuh keikhlasan.

Orang Betawi melaksanakan khitanan, yang disebut sunatan atau pnganten sunat untuk memenuhi ketentuan agama dan kesehatan.anak laki-laki yang disunat pada usia 5-10 tahun. Rangkaian acara itu sendiridari acara mengarak, menyunat, dan selamatan. Anak yang disunat dikenakan pakaian penganten dan diarak keliling kampung. Kadang-kadang anak yang disunat itu naik kuda dan disertai bunyi-bunyian seperti rebaa dan gamelan. Perangkat arak-arakan ini seperti pakaian pengantin dan kuda tadi, biasanya disewa.

Bunyi-bunyian tadi untuk menarik perhatian masyarakat sekitarnya terutama anak-anak dan ikut memperpanjang barisan arak-arakan. Hal ini menyebabkan anak yang akan disunat menjadi gembira.acara sunatan sendiri dilaksanakan keesokan harinya yang dilanjutkan dengan selamatan pada petang dan malam harinya. Bagi yang tidak mampu selamatan itu dilaksanakan dengan sederhaa dengan mengundng para tetangga dan orang-orang yang membacakan doa. Bagi yang mampu, upacara selamatan itu diteruskan dengan hiburan, misalnya pertubjukan topeng, lenong, atau wayang yang berlangsung semalam suntuk.

Sejak masa lalu pendidikan agama bagi anak-naka Betawi, baik pria maupun wanita sangat diutamakan antara lain belajar mengaji Quran. Suatu waktu , guru mengaji menyatakan kepada orang tua tentang kemampuan anaknya yang dianggapcukup dan tamat dalam mengaji Quran. Keputusan guru mengaji tadi merupakan kebahagian dan kebanggaan tersendiri bagi yang bersangkutan dan orang tuanya. Karena itulah diadakan upacara penyambut keberhasilan ini dengan nama upacara penganten tamat.yang sudah menjadi tradisi bagi orang Betawi. Upacara ini sekaligus berfungsi sebagai suatu peberitahuan kepada masyarakat .

Khatam Quran ini merupakan salah satu unsur wahana mengangkat status seseorang anak menjadi lebih tinggi dalam pandangan masyarakat, sehingga mudah diterima dalam pergaulan dan basanya mudah dalam mendapatkan jodoh. Sebaliknya dengan telah dilangsungkannya upacara tadi, seseorang diharapkn akan ,mengubah sikap sebagai anak-anak menjadi semakin dewasa, mengamalkan ilmu yang dimiliki, menjadi suri teladan dalam masyarakat. Upacara inipun merupakan sarana untuk terjadinya sarana transformasi nilai agama dan nilai sosial dalam masyarakat Betawi ini.

Dalam upacara perkawinan, masyarakat Betawi memiliki rangkaian-rangkaian yang merupakan satu kesatuan yaitu mulai dari upacara melamar (ngelamar), serahan, pesta, malem negor, dan lain-lain. Sebelum perkawinan berlangsung, biasanya di dalam masyarakat Betawi berlangsung tradisi yang dinamakan ngelancong. Ngelancong adalah salah satu prosesyang harus dilewati oleh anggota masyarakat Betawi sebagai langkah untuk memperdalam dan meyakinkan antara pasangan laki-laki dan perempuan.[25] Apabila dalam proses ngelancong ini berlangsung lancar, maka mereka meneruskannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu ngelamar dan meneruskannya ke jenjang akhir yaitu jenjang pernikahan. Masyarakat Condet mempunyai kebiasaan menikah dengan sesama kerabatnya, maka hal ini pada awal-awalnya merupakan hambatan bagi Condet untuk maju.

Perbauran dengan kawin campur antar golongan atau suku bangsa tadi dpula oleh danya kesatuan agama. Orang Betawi dapat dikatakan hampir seluruhnya memeluk agama Islam. Mereka juga umumnya dmerupakan pemeluk-pemeluk agama yang taat. Kehidupan mereka banyak dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai-nilai agama Islam.***












[1] Ridwan Saidi, Ibid
.
[2] Ridwan Saidi beralasan tentang hal ini, kalau seandainya Jakarta belum dihuni oleh masyarakat buat apa raja Tarumanegara membangun bendungan dan irigasi. Lih, Ridwan Saidi, Op.Cit hal. 4-5.
[3] Tidak ada data-data tertulis mengenai asal usul penamaan daerah Condet. Keterangan bahwa kata Condet berasal dari dua suku kata yaitu ci dan ondeh hanyalah merupakan cerita masyarakat Betawi yang diwariskan secara turun temurun (oral history). Cerita ini pun bertahan sampai sekarang, lebih lanjut mengenai hal ini atau pun tentang asal usul daerah lainnya di Jakarta dapat dilihat dalam www.beritaJakarta.com.

[4] Alwi Shahab dalam Republika, 11 Nopember 2001.

[5] Ibid.

[6] Lebih jelasnya dapat dilihat dalam www.bluefame.com.

[7] Ran Ramelan adalah salah satu dari sekian penulis yang mengabadikan kehidupan masdyarakat Betawi Condet dalam sebuah buku. Untuk lebih jelasnya silahkan baca dalam Ran Ramelan, Condet, Cagar Budaza Betawi. Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Yakarta, tanpa tahun.

[8] www.bluefame.com

[9] Republika, 4 Nopember 2007

[10] Ran Ramelan, Op.Cit.
[11] Sumber Arsip Kolonial, De Haan 1910:1911: Van Diesen 1989.

[12] Lihat M. Junus Melalatoa, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia: Jilid A-K. Departemen P & K Republik Indonesia. Jakarta, 1995.

[13] M. Junus Melalatoa, Ibid.
[14] Lihat dalam Tatok Taranggono, Cagar Budaya Condet: Suatu Kajian Ekologi Budaya di Wilayah Condet DKI Jakarta. Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta, 1992. Keterangan yang hampir senada juga dapat dilihat dalam Nurjati, Partisifasi Masyarakat Betawi pada Upaya Pelestarian Lingkungan (Studi Kasus di Kawasan Condet Jakarta Timur), Disertasi Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia. Jakarta, 1996.

[15] Tatok Taranggono, Ibid.

[16] Tatok Taranggono, Op. Cit

[17] Tatok Taranggono, Lock. Cit.

[18] www.beritaJakarta.com

[19] Kompas, 19 juli 2005
[20] Warta Kota, 7 April 2006

[21] Intisari, Juni 2004

[22] Republika, 22 Juni 2008
[23] Lihat disertasinya, Nurlina Henny Sipatuhar, Hubungan Antara Femininitas-Maskulinitas: Konsep Diri dan Minat Pilihan Pekerjaan Pada Siswa-Siswi Kelas 3 SMA Negeri 51 Condet. Disertasi pada Program Studi Psikologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta, 1994.
…..
[24] Baca M. Junus Melalatoa, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia: Jilid A-K Departemen P & K Republik Indonesia. Jakarta, 1995. Tetapi sepertinya tesis pembagian seperti ini sekarang ini sudah tidak relevan lagi, mengingat di Jakarta pada saat ini sulit sekali ditemukan daerah pinggiran yang penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani atau pun di bidang perkebunan.
[25] M. Junus Melalatoa, Ibid. hal. 164.